Popular Post

Posted by : Rika Wijayanti Minggu, 19 Februari 2017

Kontrol Bahasa bagi Masyarakat: Solusi atau Belenggu?
oleh: Rika Wijayanti

Selasa, 20 Oktober 2015 yang lalu telah berlangsung seminar nasional kebahasaan dengan judul “Transformasi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia antara Abad 20 menuju Abad 21: Kemajuan atau Kemunduran” di FBS UNY. Pembicara pada seminar ini antara lain Maman S. Mahayana dengan makalah berjudul “Model Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Iman Budi Santosa dengan makalah berjudul “Pembelajaran Bahasa Era 2015”, dan Suminto A. Sayuti dengan makalah berjudul “Menghindari Kebuntuan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Dari ketiga pembicara tersebut, saya tertarik dengan pembahasan yang dikemukakan oleh Iman Budi Santosa mengenai pembelajaran bahasa bagi masyarakat (bukan hanya di sekolah).
Makalah Iman Budi Santosa berjudul Pembelajaran Bahasa Era 2015. Ketika membaca judul tersebut tentu yang terbayang adalah pembelajaran bahasa di Indonesia pada tahun 2015. Akan tetapi, pada makalahnya, Iman lebih banyak mengungkit mengenai kesalahan berbahasa di masyarakat sehingga perlu adanya suatu kontrol dalam praktik berbahasa. Ruang lingkup objek pembahasannya pun kecil, yaitu di Yogyakarta. Iman juga telah menyampaikan pada catatan awal makalahnya bahwa makalahnya bukan berasal dari hasil  penelitian yang valid, tetapi berdasarkan pengamatan individual seiring pengalamannya di dunia sastra (baik pelatihan penulisan karya sastra maupun editing naskah untuk penerbitan buku dan majalah). Apabila dikaitkan dengan judul seminar, makalah Iman ini belum mewakili makna keseluruhan judul. Iman hanya membahas bidang bahasa saja, sastranya tidak dibahas, bahkan materi pembelajaran bahasa juga minim.
Iman Budi Santosa menyampaikan bahwa kesalahan dalam praktik berbahasa (khususnya bahasa tulis) di masyarakat dan generasi muda mengisyaratkan bahwa pengajaran bahasa di sekolah kurang berhasil. Di sekolah, siswa hanya diajarkan mengenai teori kebahasaan guna menjawab soal ujian sehingga kemampuan menggunakan bahasa dalam praktik penulisan formal dan kreatif masih rendah. Lebih lanjut lagi, kesalahan berbahasa juga disebabkan oleh pandangan umum yang cenderung meremehkan kebenaran berbahasa lantaran dipicu oleh tradisi berbahasa lisan yang nyaris menafikkan benar-salah. Oleh karena itu, Iman menyimpulkan bahwa kurikulum apapun yang digunakan pemerintah untuk pengajaran bahasa di sekolah, tidak cukup untuk menanggulangi kesalahan berbahasa (khususnya bahasa tulis) di masyarakat.
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan seseorang dalam berekspresi. “Polisi bahasa” merupakan solusi yang ditawarkan oleh Iman untuk mengontrol, mengingatkan, dan membenarkan praktik kebahasaan di masyarakat. Kalau kebebasan berekspresi yang bersifat personal itu dibatasi oleh “polisi bahasa”, lalu bagaimana manusia memerankan dirinya sebagai makhluk sosial? Berbahasa pun sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan seseorang. Bagaimana kalau “polisi bahasa” dikhususkan pada bahasa tulis? Apakah “polisi bahasa” tersebut efektif untuk membenarkan praktik kebahasaan di masyarakat yang sifatnya bebas itu? Bahkan sanksi juga diberlakukan bagi pihak yang salah dalam berbahasa. Di sini perlu dipertanyakan apakah “polisi bahasa” itu merupakan solusi atau justru belenggu.
Apabila memang ingin membelajarkan bahasa yang baik dan benar pada masyarakat, keteladanan para pejabat, akademisi, dan pihak-pihak yang menjadi panutan serta memahami praktik berbahasa yang baik dan benar harus lebih diutamakan. Hal ini mengingatkan pada sejarah ketika Orde Baru berkuasa, para elite pejabat justru terkesan seenaknya dalam berbahasa. Ironisnya, praktik berbahasa yang salah kaprah tersebut ditiru oleh bawahannya sebagai bentuk penghormatan kepada atasan.
Salah satu kasusnya yaitu kasus ‘mangkin’ dan ‘semangkin’ yang dulu sering diucapkan Soeharto. Hal ini merupakan kesalahan berbahasa, tetapi karena kedudukannya sebagai presiden, semua pihak membiarkannya. Kasus ini diungkapkan dalam cerpen “Semangkin (d/h semakin)” yang terdapat pada kumpulan cerpen Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen ini secara garis besar menceritakan tokoh bernama Sukab yang mengalami kesulitan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bunyi “ng” selalu saja terelip pada tutur katanya. Ia selalu menyebut kata semakin menjadi semangkin. Peristiwa ini dipandang istri Sukab sebagai pertanda baik. Pada masa itu (tahun 90-an) para pejabat biasa salah berbahasa ketika berpidato di depan publik. Ketika akan dilantik menjadi lurah, Sukab berusaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Ia belajar dengan keras hingga dapat mengucapkan kata semakin dengan baik dan benar. Namun, tepat pada saat itu juga, pemerintah memutuskan bahasa yang tidak baku menjadi baku dan bahasa baku menjadi tidak baku. Sukab berlatih lagi mengucapkan kata-kata tidak baku yang sudah ia tanggalkan, tetapi tidak berhasil. Istri Sukab pun berkata “.....alangkah malangnya kamu, terseok-seok menjunjung tinggi kebenaran, tetapi kebenaran itu tidak berpihak padamu.....”
Seno mengkritik praktik berbahasa pada masa Soeharto dalam cerpen di atas. Bagi Seno, untuk menjadi manusia Indonesia yang baik maka orang Indonesia harus dapat berbahasa Indonesia dengan baik pula. Terkait kesalahan berbahasa di kalangan pejabat publik, hingga saat ini masih berlangsung. Memang kebenaran berbahasa tergantung pada apa yang hidup di masyarakat, tetapi bukan berarti dapat melakukan kesalahan berbahasa seenaknya.
Dalam makalahnya, Iman juga menyindir tentang pengabaian yang dilakukan pejabat pemerintah (khususnya DPR) terhadap kesalahan berbahasa. Dalam pandangan politik dan ekonomi, masalah kesalahan berbahasa agaknya kurang mendapat perhatian.  Meski demikian, pada tahun 2007 silam RUU bahasa sempat akan disahkan, tetapi menuai pro dan kontra akibat beberapa pasal berikut.
1.      Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (pasal 9 ayat 2)
2.      Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. (pasal 11)
3.      Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia. (pasal 12)
4.      Pejabat negara dan pejabat publik diwajibkan mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia hingga tingkat tertentu. (pasal 13)

Berdasarkan pembahasan di atas, saya tidak sepenuhnya setuju dengan argumen Iman Budi Santosa yang menyarankan pembentukan “polisi bahasa” untuk mengontrol praktik kebahasaan di masyarakat. Pemikiran ini tentu saja terlalu muluk sekaligus mengekang. Bahasa adalah bentuk kebebasan berekspresi sesuai kultur pada masyarakat tertentu. Jika masyarakat dibatasi dalam berbahasa, tentu saja “polisi bahasa” tadi hanya akan menjadi sebuah wacana yang terabaikan. Hal ini disebabkan oleh rancangan tersebut terlalu kaku dan tidak disesuaikan dengan kultur di masyarakat sebagai pelaku bahasa.
Menurut saya, “polisi bahasa” hanya dapat digunakan pada lingkungan formal saja. Misalnya pada penulisan buku (khususnya buku pelajaran di sekolah), dokumen, surat (untuk instansi), dan sejenisnya. Media massa seperti televisi, koran, majalah memang harus menggunakan bahasa yang baik, tetapi tidak melulu harus menggunakan bahasa yang benar. Hal ini berdasarkan pertimbangan keterbatasan ruang pada media dan tujuan dari media massa tersebut. Misalnya, apabila bahasa pada koran harus sesuai EYD, maka masyarakat justru dapat kehilangan minat membaca. Lagi-lagi, kebutuhan masyarakat sebagai pelaku bahasa haruslah dipertimbangkan.

Demikian, kita harus lebih bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya pada masalah kebahasaan. Faktor budaya masyarakat tidak boleh diabaikan. Pembelajaran berbahasa di sekolah pun juga jangan melulu hanya mengajarkan teori saja, tetapi juga praktik berbahasa yang baik dan benar. Apabila ingin membenarkan praktik kebahasaan di masyarakat, maka mulailah membenarkan praktik berbahasa dari diri sendiri. 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Rika Wiijayanti - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -