Popular Post

Posted by : Rika Wijayanti Minggu, 19 Februari 2017

Humanisme dalam Cerpen Katastrofa
oleh: Rika Wijayanti

Saat membaca cerpen Kompas edisi 20 September 2015, judul adalah hal pertama yang tampak dalam penglihatan kita. Katastrofa? Kata asing ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan asumsi perihal isi cerpen tersebut. Baiklah, mari kita tengok pada kamus. Menurut KBBI, katastrofe adalah penyelesaian (akhir) suatu drama, terutama drama klasik yang bersifat tragedi. Setelah membaca cerpen karya Han Gagas ini, penyelesaian cerita memang menjadi sorotan karena memberi kesan haru yang kuat dan menjadi jawaban atas teka-teki yang disusun penulis pada ceritanya. Mengapa seorang petugas stasiun yang tadinya cuek terhadap Astrid, tiba-tiba menghampirinya setelah Astrid bercengkerama dengan seorang gadis cacat? Mengapa seorang petugas stasiun sampai mengetahui dan memahami kehidupan seorang anak yang buta dan bisu? Dan masih banyak pertanyaan lain yang jawabannya menjadi jelas ketika pembaca sampai di akhir cerita.
Di bawah judul ada ilustrasi gambar yang selalu disajikan dalam cerpen Kompas. Gambar tersebut menampilkan seorang wanita yang tersenyum menggandeng seorang anak yang tampak menyeramkan, terutama pada matanya yang putih (tidak ditampilkan bola hitamnya). Ilustrasi ini sesuai dengan deskripsi yang dibuat penulis.
Saat Astrid meregangkan tubuh, tiba-tiba muncul sosok kecil dari dalam gerbong yang mangkrak. Langkahnya pincang. Terbawa hatinya, Astrid mendekat tapi ia nyaris mati ketakutan saat melihat sepasang mata anak itu yang mendelik. Bulatan hitamnya nyaris tiada, bagian putihnya melotot sempurna!

Selain ilustrasi tokoh, saya juga tertarik pada gambar dan background warna yang ditampilkan. Mengapa background gambar si wanita adalah awan yang berwarna biru, sedangkan background gambar si anak seperti pohon berwarna coklat kekuningan? Pada cerpen ini dikisahkan bahwa Astrid membantu si gadis kecil, ibarat langit yang berada di atas (tangan di atas = memberi). Berdasarkan psikologi warna, warna biru muda memberi kesan menenangkan pikiran, komunikatif, perlindungan, kelembutan, cinta, kedamaian, kepercayaan, panutan, kestabilan, kepercayaan diri, persahabatan, harmoni, dan kasih sayang. Hal ini sesuai penokohan Astrid dengan pembawaan yang tenang dan penuh kasih sayang membelai rambut si gadis cacat dan mengajaknya berbicara. Sementara itu, background gambar si anak seperti pohon berwarna coklat kekuningan. Warna coklat menunjukkan bumi, pohon juga tumbuh di bumi (di bawah = menerima).
Membaca bagian awal cerita, pembaca sudah disuguhi dengan deskripsi latar dan tokoh yang cukup menarik. Hal ini mengingatkan saya pada penulis yang menurut saya, gaya pendeskripsian ceritanya tidak tertandingi, ialah Ahmad Tohari. Kedua penulis menggambarkan latar secara jelas. Namun, menurut saya terdapat perbedaan mengenai gaya deskripsi antara kedua penulis ini. Deskripsi dari Han Gagas sangat jelas, apa adanya, dan sedikit mengandung unsur estetika, sementara deskripsi dari Ahmad Tohari tidak hanya jelas dan estetik, tetapi juga meninggalkan kesan yang mendalam yang membuat setiap deskripsinya terasa memiliki makna tersendiri. Saya merasa dalam deskripsi Ahmad Tohari ada kekuatan ruh pada setiap kosakata yang digunakan, sedangkan deskripsi Han Gagas seperti tidak ada ruhnya. Sebagus apapun kata yang dipakai, tanpa ruh, maka hanya dibaca sepintas lalu tanpa meninggalkan kesan pada pembaca. Mungkin ini soal rasa. Temukan perbedaannya pada kutipan berikut ini.
Kereta itu berhenti di wilayah kehidupan orang-orang pinggir rel. Kehidupan yang sungguh merdeka dan berdaulat, sedang mulai bergerak. Tetapi, sebagian besar mereka masih terbaring dalam gubuk-gubuk kardus yang menyandar ke tembok pembatas jalur-jalur rel. Ada yang hanya tampak kaki, dan tubuh mereka terlindung di bawah atap sangat rendah lembaran rongsok. Dan di sebelah kanan rangkaian kereta, di balik semak yang meranggas dan berdebu, seorang lelaki dan anak kecilnya sudah bangun. Di dekat mereka ada perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain melingkar di atas gelaran kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu tampak lelah. Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal. Entahlah, mungkin perempuan itu tadi malam berjualan birahi sampai pagi. (Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? karya Ahmad Tohari)

Bandingkan dengan kutipan cerpen Katastrofa karya Han Gagas di bawah ini.
Begitu Astrid turun di sebuah stasiun kecil yang lengang, cahaya rembulan membius sepasang rel membuatnya tampak lebih pucat dan kaku. Lampu-lampu merkuri berpendar redup membuat segalanya tampak murung. Penumpang yang turun tak lebih dari tiga orang, kecuali Astrid, mereka bergegas ke pintu keluar.
Dingin makin menggigit tulang, jarum jam menunjuk pukul 02.30, Astrid merekatkan jaket, dan duduk di sebuah kursi panjang di koridor stasiun. Toko-toko telah tutup padahal perutnya keroncongan. Seorang petugas stasiun memerhatikannya sebentar lalu kembali mengurung diri dalam siaran televisi di depan loket karcis yang tutup. (Katastrofa karya Han Gagas)

Sayangnya, Han Gagas juga kurang mengeksplor kosakata untuk deskripsinya. Pengulangan kata untuk deskripsi pada satu judul cerpen, bahkan pada dua judul cerpen bukan menjadikannya sebagai ciri khas penulis, tetapi justru terkesan membosankan untuk dibaca dan menunjukkan miskin kosakata. Seharusnya penulis dapat lebih fokus lagi pada pemilihan kata, sehingga tidak terkesan ‘hanya itu-itu saja’. Pengulangan terjadi pada kata ‘menyengat’ untuk mendeskripsikan bau tubuh sekaligus bau mulut dalam cerpen Katastrofa.
Anak itu hanya diam. Bajunya kumal robek bau apak, dan tubuhnya yang penuh daki membuat bau tubuhnya menyengat tajam. Astrid sesekali menahan napas. (Katastrofa karya Han Gagas)

............. Mulutnya menguap memerlihatkan gigi-gigi kuning dan kotor, menguarkan bau tak sedap yang menyengat, Astrid menahan napas, dan memalingkan muka. Sikapnya terbaca si petugas. (Katastrofa karya Han Gagas)

Selain itu, rupanya pengulangan deskripsi juga terjadi pada cerpennya yang lain yang berjudul Gila.
Anak itu hanya diam. Bajunya kumal robek bau apak, dan tubuhnya yang penuh daki membuat bau tubuhnya menyengat tajam. Astrid sesekali menahan napas. (Katastrofa karya Han Gagas)

Walaupun bukan pejabat atau jendral cepak, aku memang ditakuti orang banyak. Katanya aku gila karena tubuhku yang menjijikkan dengan rambut gimbal sebahu, celana kumal robek bau apak, dada telanjang penuh daki, meracau sepanjang jalan, dan tertawa-tawa sendirian. Padahal, menurut perasaanku, aku sama sekali tidak gila. Malah yang paling waras di antara para manusia yang mengaku normal. (Gila karya Han Gagas)

Selanjutnya, saya tertarik juga pada kepiawaian Han Gagas dalam mengolah latar. Latar pada cerpen ini adalah stasiun pada dini hari saat kondisi sepi. Pemilihan yang sangat tepat dengan penokohan, meskipun tidak disebutkan secara spesifik stasiun mana yang dimaksud. Sosok gadis kecil disebutkan takut terhadap kerumunan orang, ia hanya akan keluar saat stasiun sepi. Waktu dini harilah yang sangat tepat untuk mendukung penokohan ini. Selain itu, saya lebih tertarik lagi pada pemilihan latar tempat, yaitu stasiun. Stasiun banyak digunakan penulis untuk menggambarkan kehidupan rakyat bawah yang penuh sengsara. Lagi-lagi, saya ingat pada cerpen Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? karya Ahmad Tohari yang juga mengambil latar cerita di stasiun. Cerpennya terbukti sukses. Meskipun sama-sama berlatar tempat di stasiun, tetapi masing-masing penulis selalu memilih sisi yang berbeda sesuai isi dan maksud cerita yang digarapnya. Hal ini mengungkapkan tingginya kreativitas penulis.
Sayangnya, bagaimana kehidupan Astrid tidak diekspos di cerpen ini, padahal penulis sudah melayangkan beberapa kali kalimat yang menimbulkan penasaran pembaca terhadap latar belakang kehidupan tokoh Astrid. Tampaknya, penulis membiarkannya berlalu begitu saja.
Penjelasan petugas itu bagi Astrid terlalu banyak, ia bosan dengan kata-kata, ia mengelus rambut anak itu yang rasanya seperti mengelus dirinya sendiri, rasanya ada kesepian yang sama, kesendirian, dan derita yang sama sebagai sesama perempuan.

"Mbak tak perlu merasa bersalah, dunia memang kejam, kabarnya ibunya ingin anak itu mati dalam kandungannya, ia minum banyak pil, namun nyatanya anak itu lebih kuat dari obat aborsi, ia lahir dalam keadaan yang begitu menyedihkan."
Astrid hanya diam, perasaannya ngilu.
"Ibunya, apakah punya alasan?"
"Apa maksud Mbak?"
"Apakah ibunya korban perkosaan?" tanya Astrid. Ia ingat nasibnya sendiri, ia tahu pula bahwa korban perkosaan bisa hamil.
"Tidak, tidak. Kakeknya tak menyetujui pernikahan mereka."
"Kakek? Masihkah ada kejadian itu di jaman sekarang."

Percakapan Astrid dengan penjual makanan di atas juga memiliki ketidakjelasan yang menimbulkan tanya, tetapi jawabannya tidak ada. Memangnya nasib seperti apa yang dialami Astrid? Apakah ia korban perkosaan yang akhirnya hamil? Hal ini tidak dibahas dan diselesaikan oleh penulis. Penulis yang memulai, harusnya juga dia yang menyelesaikan.
Pada kutipan tersebut penulis juga memunculkan fenomena aborsi di masyarakat. Akibat obat aborsi seorang anak terlahir cacat. Hal ini memberi pesan moral pada pembaca untuk tidak melakukan praktik aborsi. Cara penyampaian pesan yang tidak bertele-tele.
Cerpen Katastrofa mengangkat tema humanisme. Han Gagas sepertinya memang fokus pada penggarapan tema ini. Katastrofa mengisahkan tentang seorang gadis cacat korban keegoisan orang tuanya. Gadis tersebut tinggal di gerbong yang mangkrak di sebuah stasiun. Akan tetapi, sebenarnya hidupnya tidak sebatang kara karena ada kakeknya yang bekerja sebagai petugas stasiun yang apabila ditelisik, menyayangi cucunya dan berusaha melindungi cucunya dari mara bahaya. Berkat kakeknya juga gadis itu memiliki tempat untuk berteduh, bahkan tempat untuk tinggal, yaitu di gerbong kereta yang mangkrak. Hal ini tidak dapat tercapai jika sang kakek tidak bekerja sebagai petugas stasiun.
Cara kakek melindungi cucunya sangat unik. Kakek yang tadinya cuek pada kehadiran Astrid, tiba-tiba berbicara banyak hal mengenai gadis yang diajak Astrid ngobrol. Hal ini menunjukkan bahwa kakek mengkhawatirkan dan berusaha melindungi cucunya, meskipun tidak diungkapkan secara langsung. Maksud ini menguat pada saat kakek memperingatkan Astrid seperti pada kutipan berikut.
"Hati-hati di jalan, percayalah kau tak perlu membawanya lebih jauh dari warung di ujung stasiun. Sesudah ia makan, biarlah ia kembali ke sini, dan kau melanjutkan perjalanan!" teriak petugas itu dengan nada panggilan kau yang aneh, tak lagi bersikap sopan santun seperti tadi. Kali ini ada nada perintah yang otoriter dalam ucapannya. (Katastrofa karya Han Gagas)

Terlepas dari apapun, saya sangat mengapresiasi cerpen ini. Humanisme dalam kehidupan mengingatkan saya pada berbagai peristiwa yang mengetuk nurani di Indonesia. Kemanusiaan agaknya telah banyak tercerabut dari manusia-manusia Indonesia. Fenomena percobaan aborsi misalnya. Bagaimana seorang ibu sanggup membunuh anaknya sendiri? Ke mana perginya kemanusiaan? Lalu, bagaimana dengan anak-anak hasil hubungan di luar nikah yang diperlakuan tidak pantas, bahkan sering disebut anak haram? Anak-anak itu suci, mereka hanyalah korban, sedangkan manusia menghakimi seenaknya. Han Gagas melalui cerpennya mengajarkan kita banyak hal, salah satunya mengenai cara memperlakukan seorang anak yang sering disebut anak haram oleh masyarakat. Hal ini disampaikan melalui tokoh petugas stasiun yang notabene kakek si gadis cacat yang menjadi korban keegoisan orang tuanya. Meskipun petugas stasiun tidak menyetujui pernikahan anaknya, dia tetap menyayangi cucu yang ditinggalkan oleh anaknya.
Di sisi lain, dari tokoh Astrid kita juga disadarkan untuk tidak menghina orang cacat, bahkan lebih baik membantunya. Tokoh Astrid memperlakukan sosok gadis cacat dengan sangat manusiawi. Meskipun gadis kecil itu buta dan bisu, Astrid tetap mengajaknya berbicara layaknya manusia normal. Peristiwa ini cukup menghentakkan nurani kita. Di kehidupan nyata, kejadian yang sering kita temui justru orang memperolok orang-orang cacat, terutama anak-anak yang kurang mendapat pendidikan moral yang baik. Di sinilah nilai kemanusiaan untuk saling menghargai dan membantu sesama dimunculkan.
Selain itu, dari tokoh gadis buta dan bisu pun kita juga dapat belajar sesuatu tentang kemanusiaan. Seorang gadis yang buta dan tuli juga memiliki perasaan dan dapat berpikir. Gadis kecil itu menjawab pertanyaan Astrid dan berterimakasih melalui senyumannya.
"Apakah kau nyaman tinggal di gerbong itu?" tanya Astrid ragu. Ia tak tahu apakah bocah ini mengerti atau tidak, ia hanya mengikuti nalurinya untuk mengajaknya berbicara.
Gadis kecil hanya melenguh pendek. Tanpa disadari Astrid, dia berdiri, menundukkan badan, dan tersenyum, bibirnya lebih tampak seperti menyeringai, lalu berjalan terseok-seok menyusuri rel kembali. (Katastrofa karya Han Gagas)

Dari lelaki tua penjual makanan di warung tenda kaki lima, kita juga diajarkan suatu hal yang berharga. Ia melantunkan lagu kenangan
Widuri elok bagai rembulan... oh sayang...
Widuri indah bagai lukisan... oh sayang.... (Katastrofa karya Han Gagas)

Kata ‘widuri’ pada bait lagu tersebut dalam bahasa Jawa adalah batu mulia, permata. Penjual itu bernyanyi sambil melayani si gadis cacat. Secara tidak langsung dapat dimaknai bahwa gadis cacat diibaratkan sebagai permata yang harus dilindungi dan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Meskipun fisiknya tidak sempurna, tapi ia bagai permata di dalamnya. Hanya perlu diberi kasih sayang dan dirawat dengan baik, maka sinarnya akan terpancar bagai permata.
Cara penyampaian nilai yang halus dan menarik dari seorang Han Gagas melalui katastrofe yang mengharukan berikut ini.
"Ya, kalau tanpanya, bagaimana bisa seorang gembel boleh tidur seenaknya di gerbong yang walaupun mangkrak, stasiun ini juga jawatan resmi milik pemerintah."
Dari kejauhan, Astrid melihat si petugas mendekati langkah anak itu, meraih tangan kanan, dan menggandengnya berjalan. Lampu merkuri yang paling dekat dengan mereka berkedip-kedip seperti hendak mati. Angin masih bertiup kencang menghempas tenda warung. Astrid menguatkan kelopak matanya, menahan air mata yang hendak jatuh.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Rika Wiijayanti - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -