Popular Post

Archive for Februari 2017

Muslim, Ateis, Muslim Lagi

By : Rika Wijayanti
Muslim, Ateis, Muslim Lagi
oleh: Rika Wijayanti

Novel Kubah karangan Ahmad Tohari menceritakan tentang lika-liku kehidupan tokoh Karman, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, wanita, maupun politik. Tokoh yang baru saja kembali dalam agama dan masyarakatnya. Karman adalah seorang pria mantan tahanan politik (selama 12 tahun) yang baru terbebas dari pengasingannya di Pulau Buru. Keluar dari penjara membuatnya bingung harus pulang ke mana. Istrinya, Marni dengan terpaksa menikah dengan Parta karena alasan ekonomi. Ia juga khawatir dengan tanggapan warga desa Pegaten terhadapnya.
Karman sebagai tahanan politik terlibat dalam masalah kriminal yang serius, yaitu komunisme yang sangat ditentang di Indonesia. Masalah kriminalitas merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, dan budaya sebagai fenomena yang ada dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam arti kriminologis, kejahatan adalah perilaku yang bersifat susila dan merugikan, menimbulkan banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak menyatakan penolakannya. Hal inilah yang menyebabkan kekhawatiran Karman. Ia takut tidak diterima lagi di desanya karena status bekas tahanan politiknya.
Akhirnya Karman memutuskan untuk pulang ke rumah kakaknya dan siapa sangka, justru ia mendapat sambutan hangat dari penduduk dan tetangganya, bahkan juga anaknya yang bernama Rudio. Karman sempat menyaksikan anak gadisnya, Tini menikah dengan Jabir, pemuda yang berasal dari keluarga Haji Bakir yang sebelumnya pernah ia benci akibat lamarannya ditolak.
Dulu, keluarga Karman termasuk orang kaya karena ayahnya bekerja sebagai pegawai gubermen atau biasa disebut mantri di sebuah kota kecamatan. Namun, keadaan berubah ketika Jepang mengambil alih Indonesia dari Belanda. Desa Pegaten mengalami kemarau panjang dan hasil panen para warga direbut oleh tentara Jepang, maka warga hanya dapat makan ubi saja. Ayah Karman yang tidak terbiasa makan ubi kemudian menukarkan sawahnya dengan beras kepada haji Bakir. Lama-lama hartanya pun habis. Keluarga Karman menjadi miskin, apalagi ketika ayahnya meningal, ia harus bekerja menghitung hasil panen kelapa di rumah Haji Bakir demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Ayah Karman sebagai seorang mantri termasuk dalam golongan priyayi. Ia merasa tidak pantas melakukan pekerjaan kasar seperti menggarap sawah sendiri. Ahmad Tohari menampilkan realita lain di masyarakat. Penggolongan masyarakat menurut status sosialnya terbagi menjadi golongan bangsawan (priyayi), pemimpin adat, pemimpin agama, dan rakyat biasa. Kedudukan para priyayi ini dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial pada masa itu.
Ketika dewasa, Karman jatuh hati pada Rifah, tetapi lamarannya ditolak oleh Haji Bakir. Hal ini membuat Karman marah dan dendam. Saat itu ia juga sedang kesulitan mencari pekerjaan. Kesempatan ini lalu dimanfaatkan dengan baik oleh Margo, antek partai komunis (Partindo) untuk menjauhkan Karman dari orang-orang di sekitar yang dapat menghambat tujuannya. Karman memang dari awal sudah dibidik agar mau masuk partai. Karman dijejali dengan pandangan-pandangan komunis. Ia diberi pekerjaan yang baik sebagai pegawai kecamatan. Sewajarnya, lulusan SMP seperti Karman belum bisa menjadi pegawai, tetapi berkat bantuan Margo, semuanya menjadi mungkin. Orang-orang partai juga mengetahui kegagalan Karman dalam memiliki Rifah, lalu mereka memberi solusi dengan menawarkan Marni yang kelak menjadi istrinya dan melahirkan tiga orang anak.
Diceritakan bahwa tokoh Karman adalah seorang muslim yang berubah menjadi seorang ateis. Sebenarnya, ada kesalahpahaman di sini. Ateisme tidak sama dengan komunisme. Seorang ateis bisa saja memiliki pandangan liberal, sekuler, kapitalis, atau komunis. Ateisme adalah ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan, sedangkan komunisme adalah paham yang menolak kepemilikan barang pribadi dan beranggapan bahwa semua barang produksi harus menjadi milik bersama. Salah satu penyebab dihubung-hubungkannya ateisme dan komunisme adalah kata-kata Karl Marx “Agama adalah candu bagi massa rakyat”. Kesan bahwa komunis itu ateis juga disebabkan oleh tindakan terhadap kehidupan beragama yang banyak terjadi di negara-negara komunis.
Di Indonesia, cap ateis pada komunis dan sebaliknya merupakan hasil propaganda rezim Orde Baru yang ingin melenyapkan partai besar secara instan dalam jangka panjang. Guna mendapatkan dukungan kelompok agama, maka rezim Orde Baru mempropagandakan bahwa komunis adalah ateis, musuh agama, sehingga harus diberantas dari Indonesia. lebih dari satu juta orang dibunuh, jutaan lainnya dirampas harta benda dan hak-hak sipilnya, dipenjara tanpa pengadilan, dibuang ke Pulau Buru akibat kampanye antikomunis di tahun 1960an.
Dalam novel Kubah, Ahmad Tohari juga lebih condong ke pandangan Karl Marx, bahkan ia mencantumkan kata-kata Karl Marx tersebut dalam novelnya. Dari penjelasan sebelumnya kita dapat memahami mengapa Tohari berpandangan demikian. Kurang lebih karena cap ateis pada komunis yang dipropagandakan oleh Orde Baru. Di Indonesia, penguasa dapat dengan mudah membentuk opini publik.
Setelah menjadi anggota partai Partindo, Karman harus menerima kenyataan bahwa partai komunis gagal dalam melakukan kudeta. Ia dicari oleh alat keamanan negara (polisi, TNI). Karman meninggalkan keluarganya dan bersembunyi di kuburan lebih dari satu bulan. Hanya karena ia sakit perut terpaksa keluar dari persembunyiannya dan akhirnya ditangkap penduduk.
Peralihan orde Lama ke Orde Baru diwarnai oleh peristiwa kekacauan politik tahun 1965. Peristiwa yang dipicu konflik di tubuh Angkatan Darat (AD) itu menyeret nama Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang penculikan dan pembunuhan tujuh perwira AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Peristiwa tragedi kemanusiaan di Lubang Buaya itu kemudian diikuti oleh aksi balas dendam berupa penangkapan dan pembunuhan atas anggota, simpatisan PKI. PKI telah lama diidentikkan sebagai partai berideologi komunisme yang ateis. Identitas ketidakbertuhanan orang-orang PKI ini kemudian menjadi alat pembenaran bagi kalangan kelompok beragama untuk membunuh, memusnahkan, dan mengucilkan orang-orang yang dituduh PKI.
Dua belas tahun kemudian, Karman bebas dari pulau B. Tanda bahwa Karman telah diterima di desanya kembali adalah kepercayaan yang diberikan kepada Karman untuk membangun kubah masjid desanya. Tadinya Karman sebagai bekas PKI pesimis untuk kembali ke desanya karena ia takut tidak diterima, tetapi kenyataan berkata lain hingga Karman merasa menemukan sesuatu yang hilang dari dirinya.
Ahmad Tohari memaparkan peristiwa-peristiwa dalam novelnya dengan jelas dan teliti. Tokoh-tokohnya memiliki karakter yang kuat sesuai peran masing-masing. Penggambaran peristiwa juga dilakukan dengan baik. Setting yang jelas dan detail mengingatkan kita pada daerah asal penulis, yaitu Banyumas. Setting yang digambarkan Ahmad Tohari dalam novelnya ini dekat dengan kehidupan sehari-harinya yang membaur dengan masyarakat pedesaan. Tohari menggambarkan kembali realitas yang ada dalam masyarakat ke dalam realitas ceritanya dengan hidup.
Kastaghetek sebagai tokoh yang muncul di bagian akhir tampil dengan sisi religiusnya. Hal ini bukan tanpa maksud. Kastagethek menggambarkan bagaimana orang miskin tetapi masih dalam ketaatan pada Tuhannya dan selalu bersyukur atas segala hal yang didapatnya. Kastagethek mengajarkan banyak hal, antara lain mensyukuri nikmat Tuhan, kesetiaan, ketaatan, kesederhanaan, berserah diri pada Tuhan, dan sebagainya. Tentunya pertemuan Karman dengan Kastagethek turut memperkuat alasan Karman untuk bertaubat.
Sayangnya tema utama belum dijabarkan dengan maksimal. Tema utama novel ini adalah kembalinya kesadaran seorang muslim dalam agama dan masyarakatnya. Walaupun terdapat peran kastagethek yang religius, Karman yang baru saja keluar dari tahanan bisa langsung bertaubat, rasanya mustahil. Jatuhnya Karman ke kelompok orang-orang partai seperti Margo dan Triman kurang mendapat penjelasan yang cukup. Meskipun pengarang berhasil menjelaskan bagaimana komunis mencetak kader-kadernya, tetapi pergolakan batin Karman kurang dieksplorasi.
Masalah ateisme juga dibahas pada novel Atheis oleh Achdiat Karta Mihardja. Potret kehidupan tokoh Hasan yang sedari kecil dibesarkan dengan ajaran Islam membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang alim dan paham tentang Islam. Hasan hidup dalam lingkungan keluarga yang menjadikannya taat terhadap Tuhan dan agama. Namun, hidup Hasan tidak selamanya taat. Penggambaran tokoh-tokoh seperti Rusli dan Kartini yang berpaham ideologi marxisme dan leninisme, serta Anwar dengan ideologi nihilisme mendobrak keyakinan Hasan. Hasan ditempatkan di lingkungan yang meniadakan Tuhan dalam kehidupan. Interaksi sosial yang intens antara Hasan dengan Rusli, Kartini, dan Anwar membuktikan bahwa interaksi sosial sangat mempengaruhi sudut pandang dan perilaku seseorang.
Konflik batin yang dirasakan Hasan memuncak ketika Hasan sering berkunjung ke rumah Rusli dan mendengarkan opini-opini Rusli mengenai ketiadaan Tuhan. Apalagi ditambah dengan pertemuannya dengan Kartini, jelmaan wanita yang dicintai Hasan. Cinta memang dapat membutakan segalanya. Termasuk perihal keyakinan.
Perbedaan penjabaran konflik batin antara novel Atheis dengan novel Kubah, yaitu penulis dalam novel Kubah kurang menjabarkan proses pergolakan batin tokoh Karman hingga menjadi ateis. Dalam novel Atheis, penjabaran seperti ini telah menjadi fokus penulis, sehingga terjabarkan dengan lengkap. Novel Kubah sendiri tampaknya lebih terfokus dalam penggarapan proses orang partai membentuk kader yang handal.
Informasi perihal tragedi G30S PKI menjadi pelengkap yang menonjol dalam novel ini. Dan Ahmad Tohari berhasil menggambarkannya dengan apik. Kisah pengejaran komunis yang sebenarnya jarang kita dengar, tetapi pembaca dapat merasakan ketegangan yang dahsyat dari kisah pengejaran dan pelarian komunis di masa lalu. Di samping itu, Ahmad Tohari juga melibatkan golongan muslim yang ikut berperan dalam peristiwa G30S PKI. Hal ini tidak kita temukan pada novel-novel lain yang mengangkat peristiwa G30S PKI, seperti novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Laila S. Chudori yang lebih menyoroti latar belakang terjadinya peristiwa G30S secara keseluruhan tanpa melibatkan golongan muslim.
Ahamad Tohari memiliki kekhasan tersendiri dalam mengkritik marxisme pada masa Orde Baru. Tokoh-tokoh digambarkan dalam dua sisi, yaitu hitam dan putih. Margo misalnya, ia digambarkan sebagai tokoh komunis yang licik (tanpa ada sisi putihnya). Karman sebagai tokoh utama hanyalah manusia yang terbawa arus sejarah di Indonesia. Ia menjadi komunis dengan alasan dendam dan cinta. Itupun juga karena diiming-imingi pekerjaan yang baik. Sebenarnya banyak orang yang menjadi komunis tapi tidak tahu konsep komunis itu sendiri. Itulah pesan penting dari seorang Ahmad Tohari yang terdapat dalam novel Kubah.


Daftar Pustaka

Valbiant. 2012. Apakah Komunis Itu Ateis?. Diakses dari andabertanyaateismenjawab.wordpress.com, pada 3 Januari 2016.

Artikel “Warisan Sebuah Rezim”, Kompas, 24 September 2005 

Stop Budaya Patriarki!

By : Rika Wijayanti
Stop Budaya Patriarki!
oleh: Rika Wijayanti

Seminar nasional “Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan” di FBS UNY pada 26 November 2015 lalu menghadirkan empat pembicara. Yudi Latif dengan makalah berjudul “Bahasa dan Mentalitas Kebangkitan”, Suminto A. Sayuti dengan makalah “Sastra dan Kekuasaan”, Teguh Setiawan dengan makalah “Kekuasaan dalam Bingkai Bahasa”, dan Wiyatmi dengan makalah “Menggugat Kuasa Patriarki melalui Sastra Feminis”. Tulisan ini berfokus pada makalah Wiyatmi yang ingin mengungkapkan bagaimana sastra feminis menggugat kuasa patriarki.
Budaya patriarki di mana laki-lakilah yang dianggap tangguh dan perempuan adalah warga negara kedua begitu mengakar di Indonesia, bahkan dunia. Seluruh bidang kehidupan, baik disadari atau tidak telah meneguhkan tahta laki-laki di atas perempuan. Salah satu contoh yang disampaikan Wiyatmi yaitu adanya kepercayaan bahwa perempuan tidak dapat mandiri secara ekonomi. Hingga sekarang, di Indonesia, ketika seorang perempuan ingin membuka kredit di bank, ia harus mendapatkan persetujuan bapak atau suaminya–seorang laki-laki. Lalu, bagaimana dengan seseorang yang bapaknya sudah meninggal dan tidak bersuami dan dia hanya anak sendiri? Ya dengan paman. Selalu laki-laki karena dianggap lebih tepercaya.
Dalam lingkup negara, perempuan juga masih dikesampingkan. Kedudukan perempuan di lembaga pemerintahan sangat dibatasi. Peraturan terbaru, kuota anggota lembaga legislatif untuk perempuan adalah 30 % dari jumlah keseluruhan. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa perempuan mendapat kursi, tetapi juga dapat berarti lain yaitu pembatasan terhadap perempuan. Namun, tanpa peraturan ini, nyatanya kursi untuk perempuan jauh lebih sedikit. Penyebabnya karena ketidakpercayaan kaum laki-laki terhadap kepemimpinan perempuan.
Lalu, apa yang membuat kuasa patriarki begitu langgeng hingga kini? Melihat kebiasaan masyarakat di Indonesia, kaum perempuan sendiri memiliki andil yang dominan dalam melanggengkan kekuasaan patriarki. Bagaimana tidak, dalam kehidupan sehari-hari mereka masih menempatkan laki-laki pada posisi superior. Misalnya, satu keluarga memiliki dua anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Orang tua, khususnya ibu lebih banyak membebankan pekerjaan rumah kepada anak perempuan dengan salah satu dalihnya “agar kelak dapat melayani suami (laki-laki)”. Atau karena dialah anak “perempuan”. Di sini “perempuan” dimaknai sebagai orang yang bekerja melayani laki-laki, mengurus pekerjaan rumah.
Ketika budaya patriarki telah tertanam begitu kuatnya di dunia, muncullah perlawanan dalam wujud sastra feminis yang diciptakan oleh para sastrawan feminis sebagai genre sastra yang tidak hanya mengusung gagasan kesetaraan gender, tetapi juga ingin menciptakan model penulisan perempuan. Sastra feminis juga melakukan kritik terhadap ketidakadilan gender dalam penulisan sejarah sastra dan kritik sastra. Melalui karya-karyanya, sastrawan perempuan Indonesia seperti N.H. Dini, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, dan lain-lain berupaya menggugat kuasa patriarki melalui dunia simbolis yang diharapkan mampu menyadarkan masyarakat pembaca mengenai pentingnya keadilan, kesetaraan, dan eksistensi perempuan dalam masyarakat dan negara.
Kesetaraan yang dimaksud dalam sastra feminis bukan kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam segala hal (termasuk kesamaan biologis), tetapi sebuah pandangan yang berbeda tentang konstruksi perempuan di dalam dunia sosial. Hal ini dikarenakan para aktivis feminis menyadari adanya perbedaan kodrat perempuan dan laki-laki.  
Kesetaraan gender seringkali terhambat oleh konstruk budaya. Laki-laki diidentikkan dengan sifat maskulin (misalnya macho, tangguh, bertanggungjawab, dan sebagainya), sedangkan perempuan identik dengan sifat feminin (seperti lemah, anggun, dan sebagainya). Sifat-sifat yang dilabelkan pada perempuan tersebut menimbulkan diskriminasi. Perempuan seringkali tidak mendapat kepercayaan karena ada label sifat “lemah”.
Selain sastrawan perempuan, banyak juga sastrawan laki-laki yang menyuarakan feminisme, salah satunya Y.B. Mangunwijaya. Dalam novel Rara Mendut, Y.B. Mangunwijaya menyuarakan gagasan tentang kebebasan wanita serta persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam tatanan masyarakat yang diceritakan ulang dari cerita rakyat babad tanah Jawa. Dalam novel ini, Y.B. Mangunwijaya memperlihatkan perbedaan posisi perempuan dan laki-laki dalam kerajaan Pati Pragola. Semua milik raja menjadi milik sang pemenang dalam peperangan, termasuk wanita ataupun selir raja. Perempuan disamakan nilainya dengan harta benda. Perempuan tidak memiliki kekuatan atas kekuasaan yang berlaku di dalam suatu daerah. Daerah mengkonstruk perempuan seperti apa yang diinginkannya. Perempuan tidak dapat melakukan perlawanan terhadap bentuk kebudayaan di mana kebudayaan itu telah mengakar dalam bentuk kuasa laki-laki.
Kehidupan masyarakat pada saat itu, bahkan sampai saat ini sebagian besar masyarakat berpikir bahwa perempuan harus bersifat feminin. Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya menampilkan bentuk wanita ideal dalam diri tokoh Rara Mendut  yang berbeda dengan wanita lain. Mulai dari cara berpikir sampai pekerjaan yang dilakukannya.
“Pasti lagi gadis nelayan itu, pikir Nyai Singabarong. Perkiraan sang ibu betul. Pranacitra memang sedang mencari gadis yang sudah berminggu-minggu menarik perhatiannya. Seorang gadis anak sulung nelayan yang di pelabuhan nelayan terkenal dengan sebutan Rara Ireng atau kadang-kadang juga Nyai Rara Lor, karena sangat pandai mengatur layar, mengemudi perahu, dan tak kenal lelah bila mengayuh. Hitam manis sembadra, tetapi hanya dalam bentuk wadaqnya. Jiwanya, semengatnya serba trengginas Srikandi…. kekhawatiran Nyai Singabarong sebetulnya berlebih-lebihan. Mungkin karena pikiran ibu sudah menuju ke seorang gadis perempuan ideal dalam rumah saudagar gading Abdullah….” (hlmn 142).

Y.B. Mangunwijaya memperlihatkan perlawanan perempuan terhadap bentuk kekuasaan patriarki. Perlawanan tersebut terjadi ketika Rara Mendut, seorang perempuan rampasan akibat kekalahan perang diminta untuk menari. Ia mau menuruti permintaan raja dengan memberikan sebuah syarat baru. Apabila syarat tersebut dipenuhi, maka ia akan melakukan hal yang diperintahkan raja. Selain itu, Y.B. Mangunwijaya juga memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan tidak dapat memilih (pasif). Perempuan tidak memiliki kebebasan layakanya kaum laki-laki, bahkan dalam hal memilih pasangan sekalipun. Perempuan hanya dipilih dan harus menerima keputusan, terlebih jika seorang raja atau tumenggung yang menghendaki. Kebebasan perempuan ditiadakan.
Selain itu, bentuk perlawanan lain yaitu pelarian Rara Mendut. Bentuk pelarian yang dilakukan oleh Rara Mendut bersama dengan kekasihnya telah meruntuhkan kekuasaan tumenggung Wiraguna terhadap perempuan. Pelarian itu adalah sebuah pilihan, dan Rara Mendut telah memberikan pilihan bahwa perempuan bebas dalam memilih sekalipun dalam bentuk kerajaan di mana budaya dan masyarakat patuh terhadap raja.
Gugatan dari sastra feminis tidak selalu berjalan lancar. Berbagai tanggapan negatif terhadap karya-karya sastra feminis bermunculan. Menurut Wiyatmi, hal ini menunjukkan adanya kuasa patriarki yang selain meremehkan kualitas karya para sastrawan perempuan, juga memberikan anggapan bahwa kaum perempuan harus selalu menjaga sopan santun dalam berekspresi, termasuk dalam mengekspresikan pengalaman keperempuanannya. Padahal ketika kaum laki-laki mengangkat tema seksualitas, tidak ada masalah. Hal ini karena para kritikus laki-laki dianggap mewakili suara patriarki.
Nama dan karya para sastrawan perempuan tenggelam dalam sejarah sastra. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kuasa patriarki dalam struktur ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sastra. Wiyatmi mengusulkan bahwa untuk mengakhiri kuasa patriarki, perlu kajian ulang terhadap karya-karya sastra di Indonesia dalam perspektif feminis. Masyarakat perlu memberikan kemerdekaan dan apresiasi terhadap para sastrawan perempuan untuk bebas berkreasi dan melahirkan karya-karya sastra feminis yang dapat ikut serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya keadilan, kesetaraan gender, dan menghargai eksistensi perempuan, bukan malah memberikan kecaman dan kritikan yang merendahkan.

Penulis setuju dengan usulan Wiyatmi di atas. Perempuan memiliki hak untuk memperjuangkan apa yang telah menjadi haknya, yaitu kesetaraan gender. Di sisi lain, perempuan juga harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang turut serta melanggengkan kuasa patriarki. Jadi, apabila ingin menghentikan kuasa patriarki, maka perempuan tidak bisa hanya melawan dengan senjata sastra feminis saja, tetapi juga harus menghentikan praktik budaya yang menempatkan laki-laki pada posisi superior. Negara juga harus menetralkan aturan-aturan yang sekiranya memarginalkan kaum perempuan. Melalui usaha bersama dari seluruh lapisan masyarakat, semoga kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dapat terwujud.

Melawan Eksploitasi melalui Puisi

By : Rika Wijayanti
Melawan Eksploitasi melalui Puisi
oleh: Rika Wijayanti

Antologi puisi Orang-Orang Rangkasbitung memuat 10 sajak karya Rendra yang ditulisantara tahun 1990-1992. Dalam antologi tersebut Rendra memotretperistiwa sejarah mengenai penderitaan rakyat kelas bawah di Indonesia yang diwakili oleh rakyat Rangkasbitung sejakzaman penjajahan Belanda sampai zaman kemerdekaan. Protes sosial dan kesenjangan sosial antara rakyat bawah dan penguasa sering menjadi topik dalam puisi Indonesia di era 70-an sampai 90-an.Masalah ketidakadilandan korupsisangat mendominasi dari zaman penjajahan bahkan hingga sekarang.Penggusuran tanah milik rakyat bawah sering terjadi dengan alasan untuk pembangunan. Rakyat bawah hidup serba kekurangan sedangkan penguasa hidup dalam kemewahan. Hal-hal tersebut yang menjadi fokus Rendra pada antologi puisi ini.
Rangkasbitung sebagai latar utama dalam puisi ini merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Lebak provinsi Banten.Orang-orang Rangkasbitung hidup menderita karena ditindas oleh kaum penjajah Belanda. Pada zaman kemerdekaan pun masih banyak rakyat bawahyang menjadi korban penggusuran tanah untuk pembangunan-pembangunan kota yang dimotori penguasa dari negeri sendiri.
Buku kumpulan puisi karya Rendra ini terinspirasi dari kisah Saijah dan Adinda serta buku Max Havelaar karangan Multatuli.Dikisahkan Saijah dan Adinda tinggal di Badur, bagian dari distrik Parang Kujang, sebuah dusun di Lebak, Banten Selatan. Mereka hidup di tengah kemiskinan yang disebabkan oleh kelaliman kepala distrik, Wira Kusuma yang suka merampas hak milik penduduk. Saijah telah mengenal Adinda sejak kecil dan mereka berencana akan kawin kemudian.Adinda sebagai putradari petani yang kehilangan kerbaunya karena dirampas oleh Wira Kusuma. Padahal,kerbau itu yang telah menyelamatkan Saijah dari terkaman harimau. Ia tidak tahan hidup diLebak setelah Adinda tidak dilutdhui rimbanya. Saijah lari ke kampung, bergabungdengan rakyat kampung yang melawan penjajah, dan akhirnya mati diujung bayonet.
Dalam buku Max Havelaar, dikisahkan di Lebak, Banten Selatan kala itu sedang menunggu Asisten Residen baru pengganti Slotering yang mati dibunuh. Asisten Residen yang baru ditunjuk itu adalah Max Havelaar. Havelaar tiba di ibu kota baru distrik Lebak: Rangkasbitung. Havelaar berjanji akan melindungi semua orang miskin dan tertindas yang ditemuinya. Melindungi penduduk pribumi dari pemerasan dan tirani. Havelaar akan melawan kekuasaan korup dan sewenang-wenang yang sedang berlangsung di Lebak. Perampokan kerbau, kerja tanpa bayaran, dan penyiksaan. Sehari setelah kedatangannya di Lebak, Havelaar berpidato. Secara tegas ia menyampaikan keberpihakannya pada rakyat bawah. Havelaar memberitahukan bahwa tugas pemimpin bukanlah menumpuk kekayaan, tetapi harus meninggalkan kepentingan pribadi. Ia juga memperingatkan pemimpin Lebak yang banyak melakukan penyimpangan sehingga menyebabkan kemiskinan di desa-desa.
Beberapa catatan penyalahgunaan kekuasaan di Lebak didapatkan Havelaar dari arsip yang ditinggalkan pendahulunya: Slotering alias C.E.P. Carolus. Dari dokumen-dokumen yang ditemukannya itu,ia membentuk suatu gambaran mengenai kesewenang-wenangan terhadap penduduk Lebak. Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh bupati dan kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parang Kujang, Raden Wira Kusuma, dan menantu Adipati Lebak, Karta Nata Negara. Adipati Lebak waktu itu sangat ditakuti dan sangat dihormati oleh penduduk.
Slotering meninggal karena diracun. Slotering sedang menyelidiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para penguasa di Lebak  dan berencana akan melaporkannya. Slotering telah mengadukan kepada Residen Banten, C.P. Brest van Kempen alias Slijmering. Pembicaraannya dengan residen selalu sia-sia karena hal ini sudah umum diketahui bahwa pemerasan itu untuk kepentingan penguasa dan di bawah perlindungan Adipati Lebak. Akhirnya Residen Banten tidak mau mengadukan Adipati kepada pemerintah Hindia Belanda.
Puisi Nyanyian Saijah untuk Adinda, Kesaksian Bapak Saijah, dan Demi Orang-Orang Rangkas Bitung mewakili isi kumpulan puisi ini.

Nyanyian Saijah untuk Adinda
Adinda! Adinda!
Aku dirampok orang di jalan.
Mereka tikam perutku, punggungku dan
leherku.
Mereka rampas seluruh uang simpananku.
……………………………………………
Kemiskinan telah memisahkan kita.
Sepuluh tahun menahan dahagaasmara
Alangkah sulit cinta di zaman edan,
di dalam hidup penuh ancaman.
Semua hak dianggap salah.
Tak punya apa-apa dianggap sampah.
Alangkah hina orang yang kalah.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:39)

Kutipan di atas menyiratkan adanya tindak kekerasan dan kekejaman perampok sebagaipesuruh dari pejabat lokal yang menjadi antek Belanda. Saijah sebagai rakyat bawah(petani) menjadi korban kekejaman penguasa. Masyarakat kalangan bawah dianggap tidak berguna, bahkan hak-hak mereka dikebiri oleh para penguasa.
Penguasa yang zalim juga semakin dipertegas pada puisi Demi Orang-Orang Rangkasbitung. Sejak zaman penjajahan rakyat Rangkasbitung hidup menderita demi kepentingan penguasa. Praktik penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Lebak, Banten inimendorong seorang residen Belanda untuk membela rakyat yang tertindas oleh kekuasaan. Para penguasa tidak menyadari telah mengambil hasil bumi, merampas hak, dan membuat rakyatnya sengsara sampai tidak dapat berbuat apa-apa. Multatuli yang disebut pada puisi di atas adalah nama samaran dari Doewes Dekker yang menulis buku Max Havelaar.Beliauadalah orang Belanda yang memihak kepada rakyat tertindas yang tidak lain adalah rakyat Indonesia.

Demi Orang-Orang Rangkasbitung
Nama saya Multatuli
Datang dari masa lalu
Dahulu abdi dari kerajaan Belanda
Ditugaskan di Rangkasbitung
ibu kota lebak saat itu
Satu pengalaman yang penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa
dan hak pribadi diperkosa.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:52)

Masyarakat kala itu hidup tanpa pillihan. Mereka hanya dapat mengikuti kemauan penguasa. Meski demikian, mereka juga tidak punya daya untuk melawan. Hal ini terdapat pada kutipan puisi Kesaksian Bapak Saijah dan dipertegas pada puisi Demi Orang-Orang Rangkasbitung.

Kesaksian Bapak Saijah
………………….
Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan kekuasaan.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:35)

Demi Orang-Orang Rangkasbitung
………………….
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.

Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
...................................................
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:53)

Sejak zaman penjajahan Belanda para penguasadi Lebak, Banten telah melakukan berbagai penyimpangan. Kebijakan yang hanya memihakpenguasa, korupsi, penggusuran tanah milik rakyat. Lagi-lagirakyat bawahlah yang menjadi korban. Mereka yang bekerja keras tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya. Sementara bangsa Indonesia menderita di tanahnya sendiri,bangsa Belanda sebagai penjajah hidup makmur di negerinya, mereka dapat melakukan apasaja dengan tentram dan terjamin. Ironisnya, mereka menikmati kesuksesan penjajahan secara sadar. Peri kemanusiaan nampaknya telah sirna.
Puisi Demi Orang-OrangRangkasbitung mengacu pada isi buku Max Havelaar karya Multatuli. Rangkasbitung ditemukan dalam pidato Multatuli yang isinya tentang orasi sumpah Douwes Dekker, seorang Belanda yang menyadari praktik penindasan di Indonesia. hatinya tergerak untuk membela rakyat Indonesia yang tergilas haknya oleh pemimpin sendiri. Manusia Indonesia yang diperlakukan seperti hewan yang diperas tenaganya tanpa dapat menikmati hasil dari kerja kerasnya sendiri.

Demi Orang-orang Rangkasbitung
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli.
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi kerajaan Belanda.
Ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman yang penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa
dan hak pribadi diperkosa.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:52)

Melalui puisi Rendra melawan eksploitasi. Penjajahan adalah sejarah kelam bangsa Indonesia di mana alam dan manusia dieksploitasi habis-habisan oleh sesama (bangsa lain dan bangsa sendiri). Penguasa menindas rakyatnya sendiri. Ironis. Rendra mengingatkan kita tentang ketidakadilan, penindasan, kemunafikan, teror kekuasaan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan di Indonesia melalui puisi-puisinya dalam antologi Orang-Orang Rangkasbitung.
Puisi-puisi Rendra pada antologi Orang-Orang Rangkasbitungbukan lagi menggambarkan tentang sesuatu atau sekadarkesaksian tentang peristiwa di masyarakat, tetapi Rendra menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu dalam puisinya.Di balik itu, buku ini berisi 10 judul puisi yang panjang-panjang. Tampaknya hal ini kurang efisienbagi penulisan puisi.Diksi dalam puisi berbeda dengan diksi pada jenis tulisan lain, satu kata saja dapat mewakili berbagai makna. Penulis dapat memilih diksi yang lebih padat makna untuk menyatakan kalimat yang panjang. Namun, dengan pemilihan diksi yang sederhana dan jelas juga mempunyai nilai positif. Pemaknaan puisi pada pembaca menjadi lebih jelas dan tidak terjerumus ke dalam pemaknaan yang dangkal/meleset dari yang ingin disampaikan penulis.
Selain itu, antologi ini mengacu pada buku Max Havelaar karangan Multatuli yang notabene merupakan salah satu pahlawan yang turut andil dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Indonesia yang dibelenggu oleh penjajahan baik dari bangsa lain maupun bangsa sendiri. Akan tetapi, mengapa Rendra tidak mengungkap pahlawan dari Indonesia yang beraksi melawan penindasan dan penjajahan? Padahal tentu saja ada rakyat Indonesia yang memperjuangkan hak-hak bangsanya sendiri, tetapi Rendra hanya mengungkap bahwa masyarakat Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa.

Demikian, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, antologi puisi Orang-Orang Rangkasbitung karya Rendra ini merupakan dokumen sejarah yang penting sebagai pembelajaran bangsa Indonesia ke depan. Rakyat bukanlah alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi pemilik sah negeri Indonesia yang wajib diberikan haknya. Hentikan eksploitasi alam dan manusia di Indonesia!

Kontrol Bahasa bagi Masyarakat: Solusi atau Belenggu?

By : Rika Wijayanti
Kontrol Bahasa bagi Masyarakat: Solusi atau Belenggu?
oleh: Rika Wijayanti

Selasa, 20 Oktober 2015 yang lalu telah berlangsung seminar nasional kebahasaan dengan judul “Transformasi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia antara Abad 20 menuju Abad 21: Kemajuan atau Kemunduran” di FBS UNY. Pembicara pada seminar ini antara lain Maman S. Mahayana dengan makalah berjudul “Model Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Iman Budi Santosa dengan makalah berjudul “Pembelajaran Bahasa Era 2015”, dan Suminto A. Sayuti dengan makalah berjudul “Menghindari Kebuntuan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Dari ketiga pembicara tersebut, saya tertarik dengan pembahasan yang dikemukakan oleh Iman Budi Santosa mengenai pembelajaran bahasa bagi masyarakat (bukan hanya di sekolah).
Makalah Iman Budi Santosa berjudul Pembelajaran Bahasa Era 2015. Ketika membaca judul tersebut tentu yang terbayang adalah pembelajaran bahasa di Indonesia pada tahun 2015. Akan tetapi, pada makalahnya, Iman lebih banyak mengungkit mengenai kesalahan berbahasa di masyarakat sehingga perlu adanya suatu kontrol dalam praktik berbahasa. Ruang lingkup objek pembahasannya pun kecil, yaitu di Yogyakarta. Iman juga telah menyampaikan pada catatan awal makalahnya bahwa makalahnya bukan berasal dari hasil  penelitian yang valid, tetapi berdasarkan pengamatan individual seiring pengalamannya di dunia sastra (baik pelatihan penulisan karya sastra maupun editing naskah untuk penerbitan buku dan majalah). Apabila dikaitkan dengan judul seminar, makalah Iman ini belum mewakili makna keseluruhan judul. Iman hanya membahas bidang bahasa saja, sastranya tidak dibahas, bahkan materi pembelajaran bahasa juga minim.
Iman Budi Santosa menyampaikan bahwa kesalahan dalam praktik berbahasa (khususnya bahasa tulis) di masyarakat dan generasi muda mengisyaratkan bahwa pengajaran bahasa di sekolah kurang berhasil. Di sekolah, siswa hanya diajarkan mengenai teori kebahasaan guna menjawab soal ujian sehingga kemampuan menggunakan bahasa dalam praktik penulisan formal dan kreatif masih rendah. Lebih lanjut lagi, kesalahan berbahasa juga disebabkan oleh pandangan umum yang cenderung meremehkan kebenaran berbahasa lantaran dipicu oleh tradisi berbahasa lisan yang nyaris menafikkan benar-salah. Oleh karena itu, Iman menyimpulkan bahwa kurikulum apapun yang digunakan pemerintah untuk pengajaran bahasa di sekolah, tidak cukup untuk menanggulangi kesalahan berbahasa (khususnya bahasa tulis) di masyarakat.
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan seseorang dalam berekspresi. “Polisi bahasa” merupakan solusi yang ditawarkan oleh Iman untuk mengontrol, mengingatkan, dan membenarkan praktik kebahasaan di masyarakat. Kalau kebebasan berekspresi yang bersifat personal itu dibatasi oleh “polisi bahasa”, lalu bagaimana manusia memerankan dirinya sebagai makhluk sosial? Berbahasa pun sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan seseorang. Bagaimana kalau “polisi bahasa” dikhususkan pada bahasa tulis? Apakah “polisi bahasa” tersebut efektif untuk membenarkan praktik kebahasaan di masyarakat yang sifatnya bebas itu? Bahkan sanksi juga diberlakukan bagi pihak yang salah dalam berbahasa. Di sini perlu dipertanyakan apakah “polisi bahasa” itu merupakan solusi atau justru belenggu.
Apabila memang ingin membelajarkan bahasa yang baik dan benar pada masyarakat, keteladanan para pejabat, akademisi, dan pihak-pihak yang menjadi panutan serta memahami praktik berbahasa yang baik dan benar harus lebih diutamakan. Hal ini mengingatkan pada sejarah ketika Orde Baru berkuasa, para elite pejabat justru terkesan seenaknya dalam berbahasa. Ironisnya, praktik berbahasa yang salah kaprah tersebut ditiru oleh bawahannya sebagai bentuk penghormatan kepada atasan.
Salah satu kasusnya yaitu kasus ‘mangkin’ dan ‘semangkin’ yang dulu sering diucapkan Soeharto. Hal ini merupakan kesalahan berbahasa, tetapi karena kedudukannya sebagai presiden, semua pihak membiarkannya. Kasus ini diungkapkan dalam cerpen “Semangkin (d/h semakin)” yang terdapat pada kumpulan cerpen Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen ini secara garis besar menceritakan tokoh bernama Sukab yang mengalami kesulitan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bunyi “ng” selalu saja terelip pada tutur katanya. Ia selalu menyebut kata semakin menjadi semangkin. Peristiwa ini dipandang istri Sukab sebagai pertanda baik. Pada masa itu (tahun 90-an) para pejabat biasa salah berbahasa ketika berpidato di depan publik. Ketika akan dilantik menjadi lurah, Sukab berusaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Ia belajar dengan keras hingga dapat mengucapkan kata semakin dengan baik dan benar. Namun, tepat pada saat itu juga, pemerintah memutuskan bahasa yang tidak baku menjadi baku dan bahasa baku menjadi tidak baku. Sukab berlatih lagi mengucapkan kata-kata tidak baku yang sudah ia tanggalkan, tetapi tidak berhasil. Istri Sukab pun berkata “.....alangkah malangnya kamu, terseok-seok menjunjung tinggi kebenaran, tetapi kebenaran itu tidak berpihak padamu.....”
Seno mengkritik praktik berbahasa pada masa Soeharto dalam cerpen di atas. Bagi Seno, untuk menjadi manusia Indonesia yang baik maka orang Indonesia harus dapat berbahasa Indonesia dengan baik pula. Terkait kesalahan berbahasa di kalangan pejabat publik, hingga saat ini masih berlangsung. Memang kebenaran berbahasa tergantung pada apa yang hidup di masyarakat, tetapi bukan berarti dapat melakukan kesalahan berbahasa seenaknya.
Dalam makalahnya, Iman juga menyindir tentang pengabaian yang dilakukan pejabat pemerintah (khususnya DPR) terhadap kesalahan berbahasa. Dalam pandangan politik dan ekonomi, masalah kesalahan berbahasa agaknya kurang mendapat perhatian.  Meski demikian, pada tahun 2007 silam RUU bahasa sempat akan disahkan, tetapi menuai pro dan kontra akibat beberapa pasal berikut.
1.      Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (pasal 9 ayat 2)
2.      Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. (pasal 11)
3.      Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia. (pasal 12)
4.      Pejabat negara dan pejabat publik diwajibkan mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia hingga tingkat tertentu. (pasal 13)

Berdasarkan pembahasan di atas, saya tidak sepenuhnya setuju dengan argumen Iman Budi Santosa yang menyarankan pembentukan “polisi bahasa” untuk mengontrol praktik kebahasaan di masyarakat. Pemikiran ini tentu saja terlalu muluk sekaligus mengekang. Bahasa adalah bentuk kebebasan berekspresi sesuai kultur pada masyarakat tertentu. Jika masyarakat dibatasi dalam berbahasa, tentu saja “polisi bahasa” tadi hanya akan menjadi sebuah wacana yang terabaikan. Hal ini disebabkan oleh rancangan tersebut terlalu kaku dan tidak disesuaikan dengan kultur di masyarakat sebagai pelaku bahasa.
Menurut saya, “polisi bahasa” hanya dapat digunakan pada lingkungan formal saja. Misalnya pada penulisan buku (khususnya buku pelajaran di sekolah), dokumen, surat (untuk instansi), dan sejenisnya. Media massa seperti televisi, koran, majalah memang harus menggunakan bahasa yang baik, tetapi tidak melulu harus menggunakan bahasa yang benar. Hal ini berdasarkan pertimbangan keterbatasan ruang pada media dan tujuan dari media massa tersebut. Misalnya, apabila bahasa pada koran harus sesuai EYD, maka masyarakat justru dapat kehilangan minat membaca. Lagi-lagi, kebutuhan masyarakat sebagai pelaku bahasa haruslah dipertimbangkan.

Demikian, kita harus lebih bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya pada masalah kebahasaan. Faktor budaya masyarakat tidak boleh diabaikan. Pembelajaran berbahasa di sekolah pun juga jangan melulu hanya mengajarkan teori saja, tetapi juga praktik berbahasa yang baik dan benar. Apabila ingin membenarkan praktik kebahasaan di masyarakat, maka mulailah membenarkan praktik berbahasa dari diri sendiri. 

Citra Kami (Perempuan)

By : Rika Wijayanti
Citra Kami (Perempuan)
oleh: Rika Wijayanti

Kemiskinan, kekeringan, dan gagal panen adalah sebuah gambaran penting untuk memulai cerita pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Berawal dari keadaan inilah kepercayaan animisme dan adat-istiadat masyarakat Dukuh Paruk pada tahun 1960-an ditampilkan. Masyarakat Dukuh Paruk percaya pada leluhur Ki Secamenggala dan juga percaya bahwa untuk menjadi ronggeng tidak bisa sembarang orang, tetapi hanya orang terpilih yang kerasukan indang ronggeng.  Ronggeng di Dukuh Paruk saat itu sangat dibutuhkan untuk memberi warna dan semangat bagi warga desa yang mulai putus asa dengan gagal panen, kekeringan, dan kemiskinan.
Film Sang Penari terinspirasi dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Salah satu citra penting dalam novel yang tidak mampu tergambarkan pada film yaitu kekeringan. Pada film yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah ini justru menampilkan sawah yang subur dan air melimpah untuk menanam padi pada adegan di mana para petani perempuan sedang menanam padi. Tentunya kesalahan ini turut memengaruhi jalan cerita karena tanpa kekeringan tidak akan terjadi gagal panen dan tanpa gagal panen maka kemiskinan tidak dapat tergambar dengan kuat. Setting gagal terbentuk.
Sang Penari, membaca judul film memungkinkan film bercerita tentang penari atau dunia seni. Namun, setelah menyaksikan filmnya, kita akan memperoleh pemaknaan yang lebih dalam lagi mengenai gambaran perempuan sebagai pekerja seni, sebagai pelacur, sebagai ibu rumah tangga, dan sebagai pihak yang tertindas. Salah satu tokoh utama pada film ini adalah Srintil. Profesinya adalah penari ronggeng (pekerja seni & pelacur), lalu pada suatu saat timbul keinginan dalam dirinya untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Walaupun begitu, Srintil tetaplah perempuan yang tertindas. Ia terpaksa melacurkan diri sebagai syarat menjadi ronggeng yang sudah menjadi panggilan hatinya.
Ketidakadilan gender. Hal inilah yang terlintas di pikiran saya ketika melihat gambaran perempuan yang diwakili Srintil yang berprofesi sebagai seorang ronggeng. Gender adalah istilah yang merujuk pada seperangkat karakteristik yang dipandang manusia sebagai hal-hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, dari hal-hal biologis seperti jenis kelamin sampai peran sosial dan identitas gender. Lebih lanjut, ketidakadilan adalah berbagai diskriminasi (pembedaan, pengucilan, pembatasan) yang dibuat atas dasar jenis kelamin. Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu marginalisasi/pemiskinan ekonomi, anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip/pelabelan negatif, kekerasan, dan ideologi nilai peran gender.
Srintil sebagai seorang perempuan mengalami ketidakadilan gender seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini tergambar melalui percakapan Nyai Kartaredja yang sedang menasihati Srintil bahwa ronggeng itu tidak hanya perkara urusan tidur, tetapi juga kasur, batur, dan sumur. Artinya perempuan bertugas untuk melayani segala kebutuhan laki-laki, terutama kebutuhan seks. Memang kodrat perempuan adalah melayani pihak laki-laki, tetapi tidak hanya sebatas itu. Perempuan memiliki kedudukan sederajat dengan laki-laki, mereka memiliki hak yang sama, tidak hanya diperlakukan sebagai pemuas nafsu dan pembantu semata. Pandangan mengenai tugas perempuan yang bertugas di “kasur, dapur, dan sumur” berawal dari budaya masyarakat Jawa yang membatasi perempuan dalam relasi gender dan peran laki-laki lebih dominan dibanding perempuan.
Hal yang paling menonjol dan menghentakkan pembaca novel maupun penonton film menurut saya adalah syarat utama menjadi seorang ronggeng, yaitu tradisi pelelangan keperawanan ronggeng yang disebut bukak klambu. Tradisi ini mengharuskan Srintil melacurkan dirinya sebagai syarat sahnya menjadi seorang ronggeng. Menjadi ronggeng berarti Srintil adalah milik warga Dukuh Paruk, bahkan tubuhnya sekalipun. Dalam tradisi bukak klambu, para pria berlomba-lomba menghadiahkan berbagai macam benda untuk memenangkan sayembara keperawanan ronggeng. Barangsiapa yang membawa hadiah dengan harga termahal, maka ia pemenangnya. Pembentukan stereotip bahwa ronggeng adalah pelacur sangat kental walaupun dalam cerita ini dipaksakan oleh adat. Lagi-lagi perempuan terdiskriminasi.
Beriringan dengan tradisi bukak klambu, ada juga kepercayaan barangsiapa yang meniduri ronggeng, akan memberi kesuburan bagi si lelaki. Maka dari itu, para istri malah bangga jika suaminya bisa meniduri ronggeng, dengan harapan selanjutnya sang istri akan hamil jika bersetubuh dengan sang suami yang telah "menaklukkan" titisan Dewi Kesuburan. Pada adegan filmnya, setelah Srintil melayani seorang lelaki, istri dari lelaki tersebut masuk ke kamar bahkan memberikan sesuatu barang sebagai tanda terimakasih. Adegan ini cukup menggelitik bagi saya, bagaimana bisa seorang istri justru senang suaminya telah berhubungan intim dengan perempuan lain? Berdasarkan hukum Islam, seseorang yang telah menikah melakukan hubungan intim dengan orang lain berarti zina dan dikenai dosa besar. Agaknya adat telah mengobrak-abrik nilai-nilai di masyarakat.
Di sisi lain, ada tokoh Bakar yang tiba di Dukuh Paruk dan meyakinkan petani Dukuh Paruk untuk bergabung dengan partai komunis dengan dalih menyelamatkan wong cilik (kelas bawah) Dukuh Paruk dari kelaparan, kemiskinan, dan penindasan para tuan tanah yang serakah. Bakar juga meyakinkan penduduk dengan menyatakan keprihatinannya mengenai kondisi ronggeng yang begitu dibanggakan warga Dukuh Paruk, tetapi dapat diperjualbelikan keperawanannya untuk melayani kaum berduit.
Kesenian ronggeng dimanfaatkan Bakar untuk menggaet massa. Grup ronggeng Dukuh Paruk diundang untuk mengisi acara-acara partai yang dinaungi Bakar. Baik dalam kampanye maupun rapat-rapat. Srintil sebagai seorang penari ronggeng hanya digunakan sebagai alat partai, hiburan, dan pemuas nafsu para anggota partai. Di sini tersirat bahwa perempuan tidak penting dalam keputusan politik.
Pada waktu itu politik 1965 bergejolak. Kejanggalan G30S, misteriusnya Supersemar, sampai wacana bahwa PKI adalah korban manuver politik telah banyak diketahui orang. Dalam film Sang Penari, penyampaian peristiwa tersebut tidak serta merta kemudian disebutkan PKI dan dikibarkan bendera PKI, tetapi nama partai disamarkan menjadi Partai Rakyat dan benderanya berwarna merah. Sayangnya, adegan ini hanya digunakan sutradara sebagai pemicu konflik semata. Tentunya sutradara memiliki pertimbangan sendiri mengapa adegan ini tidak dikembangkan.
Walau demikian, bagaimana masyarakat Dukuh Paruk yang buta huruf dan tidak tahu-menahu tentang politik terjebak dalam pergolakan 1965, merupakan salah satu keberhasilan tersendiri dalam menggambarkan tragedi 1965. Warga desa, seniman ronggeng, pemangku adat, tak tekecuali diciduk oleh tentara dan dipenjara. Peristiwa ini tentunya sangat penting untuk diketahui masyarakat Indonesia secara umum dan menjadi pelajaran berharga untuk tidak menerima begitu saja nilai-nilai dari luar yang dijejalkan pada kita. Pengetahuan sangatlah penting, agar tidak dijajah akibat kebodohan sendiri.
Menurut saya, adegan-adegan yang disajikan dalam film  Sang Penari banyak yang hambar. Hal ini mungkin karena adegan-adegan yang potensial untuk dikembangkan, justru mandek, hanya ditampilkan sepintas lalu, atau justru tidak ditampilkan. Misalnya, untuk mengetahui Srintil pandai menari, Sakarya dan Kartaredja mengintip Srintil yang masih berusia 11 tahun menari diiringi calung mulut Rasus dan teman-temannya. Dari sinilah muncul kepercayaan bahwa Srintil telah kemasukan indang ronggeng. Ini di versi novelnya, sedangkan di versi filmnya tidak dihadirkan. Peristiwa awal yang penting justru dilewatkan oleh sutradara. Kemudian, pada saat ritual bukak klambu juga tidak menampilkan konflik batin Srintil, Srintil hanya cemas dan mulai menyerahkan keperawanannya dengan mudah.
Selanjutnya, Srintil digambarkan berhenti meronggeng dan melacur setelah disadarkan Rasus. Lagi-lagi tidak ada konflik batin yang kuat. Di sini dalam diri Srintil muncul jiwa keibuan. Ia ingin hidup layaknya perempuan lain, menjadi seorang istri dan mempunyai anak. Oleh karena Rasus telah pergi, Srintil melihat Goder, bayi anak tetangganya sebagai suatu hal yang menarik. Anehnya, begitu cepat sekali adegan ini diakhiri. Goder langsung direbut dari gendongan Srintil oleh para perempuan kampung. Sebaiknya adegan ini digarap lebih dalam lagi supaya pesan yang ingin disampaikan lebih jelas dan penonton tidak bingung mengapa harus ditampilkan adegan tersebut.
Hal paling mendasar dalam film yang berjudul Sang Penari tentunya harus ditampilkan tarian ronggeng yang luar biasa. Nyatanya, hal ini tidak ada. Srintil hanya ditampilkan menari sekenanya meski ekspresinya bagus. Itu pun dalam durasi yang singkat. Tari ronggeng yang merupakan salah satu budaya Indonesia tidak dieksplorasi dengan baik. Padahal, jika ditampilkan secara utuh dapat menampilkan kekayaan budaya Indonesia.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, film Sang Penari toh tetap mewakili ruh novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pembaca karya sastra tentunya memiliki sudut pandang, fokus, dan pemaknaan yang berbeda-beda. Dan inilah pemaknaan novel Ronggeng Dukuh Paruk dari sutradara Ifa Isfansyah.

- Copyright © Rika Wiijayanti - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -