Popular Post

Posted by : Rika Wijayanti Minggu, 19 Februari 2017

Kekerasan Negara terhadap Masyarakat
dalam Cerpen Grhhh! Karya Seno Gumira Ajidarma
Oleh: Rika Wijayanti

Cerpen Grhhh! merupakan salah satu cerpen yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen Penembak Misterius yang terdapat pada bagian pertama Penembak Misterius: Trilogi. Cerpen ini berusaha mengungkapkan gugatan terhadap peristiwa penembakan misterius (petrus) atau operasi celurit pada rezim Orde Baru. Dalam cerpen Grhhh!, hal ini diperlihatkan pada pembasmian mayat-mayat hidup yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan menelan biaya yang tidak kecil. Ini berarti petrus digugat bukan hanya karena kegagalannya, tetapi  juga karena sejumlah efek samping yang ditimbulkannya, serta implikasinya terhadap anggaran pembelanjaan negara. Petrus adalah proyek mahal yang sia-sia dan justru menciptakan lingkaran kekerasan, padahal semula dimaksudkan untuk menghentikan kekerasan.
Petrus dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti dinyatakan dalam koran Tempo berikut.
”Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada lima peristiwa yang dikategorikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru yang dipimpinnya. Pelanggaran itu adalah peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus daerah operasi militer (DOM) Aceh dan Papua, serta kasus 27 Juli (Tempo, 2004).

Petrus (operasi celurit) adalah suatu operasi rahasia dari pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tidak jelas dan tidak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius).
Soeharto dalam otobiografinya yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, terbitan 1989, mengakui adanya kebijakan petrus. Hal ini tercantum pada bab 69 buku itu, berjudul “Yang Disebut Petrus dan Hukuman Mati”. Soeharto menuturkan kalau petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera. “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu,” kata Soeharto (Majalah Detik, 27 Februari-4 Maret 2012: 18).
Korban petrus adalah penjahat kelas teri yang bertato. Hal ini tersurat dalam kutipan cerpen berikut.
Dengan malas diraihnya sejumlah laporan yang masuk.
...para informan di seluruh penjuru tanah air melaporkan adanya sejumlah kuburan yang jebol. Peti di dalamnya telah terbuka dan isi di dalamnya tidak ada lagi. Data-data menunjukkan, kuburan itu memang kuburan kaum penjahat kelas teri. Namun tidak semua bernama dan bertanda tahun. Hasil penyelidikan sementara juga menunjukkan sebagian mayat hidup itu datang dari Lubang Besar... (Ajidarma, 2007: 34).

Pernyataan mengenai korban petrus di atas didukung oleh fakta yang diungkapkan oleh Komnas HAM berikut.
"Korban petrus adalah preman kelas teri atau mereka yang melawan kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan sebagai penjahat. Ketiga jenis korban itu dibunuh atau dihilangkan dengan sengaja dan mereka tidak pernah diadili sesuai hukum yang sah. Oleh karena itu, (penembakan misterius) termasuk pelanggaan HAM berat karena sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 9 UU No 26/2000," ujar Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Petrus, Yosep Adi Prasetyo (Kompas, 2012).
Yosep yang juga Wakil Ketua I Komnas HAM melanjutkan, rata-rata korban petrus ini adalah orang-orang yang ditengarai bermasalah dengan hukum atau dianggap meresahkan masyarakat (preman, residivis, copet, dan lainnya) yang bercirikan memiliki tato. Namun, dalam praktiknya ada juga orang-orang yang tidak bersentuhan dengan hukum, tapi menjadi korban seperti petani, penjaga masjid, dan PNS lantaran memiliki nama yang sama dengan daftar target. “Daftar target itu yang memiliki militer,” tuturnya (Sindo, 2012).

Peristiwa petrus tersebut terbukti melanggar HAM berat karena pengambilan keputusan dalam petrus terbukti sepihak. Korban yang berjenis kelamin laki-laki dan berusia rata-rata 23 sampai 52 tahun ditangkap, disiksa, dibunuh, dan dihilangkan tanpa melalui peradilan yang sah untuk membuktikan korban terbukti melanggar undang-undang pidana. Pelaku peristiwa petrus, diduga adalah TNIPolri, Garnisun, dan pejabat sipil (Kompas, 2012). Hal itu terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa dan Sumatera seperti Yogyakarta, Bantul, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Mojokerto, Bogor, Jakarta, Palembang, dan Medan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merupakan bagian dari aparat keamanan negara (TNI dan polisi) (Sindo, 2012). Berikut keterangan mengenai korban petrus secara lebih rinci.
Dari hasil operasi Petrus, tercatat pada tahun 1983 sebanyak 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada tahun 1984 ada 107 orang tewas, 15 orang di antaranya tewas ditembak, dan pada 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.
Adnan Buyung Nasution mengungkap banyak korban petrus yang tidak bersalah. Pada masa itu, orang bertato dianggap sebagai preman yang menjadi sasaran petrus. Buyung, sebagai Direktur LBH masa itu banyak membantu orang-orang yang jadi buruan petrus untuk bersembunyi ataupun melarikan diri ke luar negeri. “Banyak yang melapor pada LBH. Ada yang saya bantu lari ke luar negeri, ke Belanda. Banyak itu,” terang Buyung (Majalah Detik, 27 Februari-4 Maret 2012: 16).

Nordholt (2003: 99) menyatakan bahwa pembunuhan misterius ini merupakan reaksi atas tingkat kejahatan yang terlalu besar dan terus meningkat. Mengikuti hal ini, ada 2 faktor yang menyebabkan praktik ekstra-legal ini sempat mendapat respon positif dari masyarakat. Pertama, masyarakat yang sedang berada dalam tekanan akibat meningkatnya kejahatan seperti pencurian dll, membuat metode likuidasi kriminal ini tampak membantu masyarakat. Kedua, sistem hukum pada saat itu banyak mencederai rasa keadilan masyarakat terutama penjaja-penjaja kecil dan pemilik toko yang mengalami pemerasan tanpa adanya tindakan dari polisi, sementara ‘pemuka-pemuka kriminal dapat bebas dalam waktu singkat. Ketidakpercayaan pada sistem hukum yang ada lantas membuat masyarakat memberikan legitimasi sosial bagi praktik “anarki negara” ini.
Cerpen Grhhh! ini mencerminkan kondisi masyarakat Orde Baru di mana kekerasan terjadi bagi mereka yang membangkang kepada yang berkuasa. Dalam cerpen ini, para korban digambarkan secara imajinatif melalui karakter zombi-zombi yang mengerikan. Mereka bangkit dari kubur lantaran tidak terima dibunuh tanpa tahu alasan mereka dibunuh. Mereka bangkit untuk balas dendam. Hal demikian dapat dikatakan sebuah metafora bagi peristiwa sosial yang pernah terjadi. Para zombi itu merupakan cerminan dari para korban pembantaian yang dilakukan oleh rezim Orba.

Kekerasan Negara kepada Masyarakat
Pembunuhan yang dilakukan penguasa melalui pembunuh bayaran kepada masyarakatnya merupakan bentuk kekerasan negara. Kekerasan negara ini termasuk ke dalam jenis kekerasan langsung (khusus: homicide) dengan menghilangkan nyawa orang lain. Petrus adalah wujud nyata dari kekerasan negara terhadap masyarakat di era Orde Baru. Kekerasan yang dilakukan negara dengan alasan untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakatnya merupakan bentuk dari  kekerasan dalam politik.
Kejahatan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru menghasilkan kejahatan yang dilakukan oleh penegak hukum. Abdi negara digunakan sebagai alat untuk meneror maupun membunuh orang yang belum tentu bersalah. Kekerasan negara itu menciptakan ketakutan, dan menekan masyarakat untuk menerima sistem yang diberlakukan. Keputusan yang diambil oleh penguasa Orde Baru tersebut juga menjadikan abdi negara hanya menjadi alat untuk melaksanakan perintah. Hal ini disebabkan perintah yang diberikan oleh penguasa adalah sebuah kewajiban yang harus diselesaikan dengan baik apapun resikonya.
Operasi Petrus digelar pemerintah untuk menanggulangi kejahatan yang merebak pada saat itu. Angka kejahatan dari laporan tahun 1982 mencapai 223.768 kasus dengan penyelesaian 99.297 kasus. Kejahatan ini terjadi di tengah angka populasi nasional sekitar 146 ribu jiwa.
Laksamana Sudomo menggulirkan operasi pemberantasan kejahatan dengan sandi Operasi Clurit. Operasi ini diumumkan setelah ia  melakukan rapat dengan Kapolri Letjen (Pol) Anton Sudjarwo, Wapangkowilhan II Marsekal Muda Atmodjo, Kadapol VII Metro Jaya Brigjen (Pol) Drs. R. Sudjoko, Pangdam V/Jaya Mayjen Try Sutrisno dan Wagub DKI HAKI Chourmain di Jakarta pada 19 Januari 1983. Operasi ini lantas diikuti oleh daerah lain (Majalah Detik, 21-27 Mei 2012: 38).
                              
Rezim Orba telah mengembangkan ideologi fasisme militeristik. Di dalam cerpen Grhhh! kekuasaan pemerintah yang otoriter dapat dilihat melalui kutipan cerpen berikut.
“Terlalu. Masak namaku secuil pun tidak disebut-sebut. Pers sekarang selalu membesar-besarkan persoalan yang tidak penting, sambil menutup-nutupi masalah sebenarnya. Coba, mana disebut kerja keras petugas? Aku sudah bekerja siang malam tanpa istirahat, eh, potret si mayat hidup yang dimuat. Mending kalau cakep! Masyarakat juga brengsek selalu menghina polisi. Malah memuja polisi di film Barat. Maknyadirodog!” (Ajidarma, 2007: 29).

Para petinggi kekuasaan di bawah penguasa Orde Baru saat itu seakan tidak sempat memikirkan apa yang mereka lakukan. Mereka hanya menjalankan perintah penguasa kala itu. Mereka beralasan hanya menjalankan perintah untuk membunuh orang-orang bertato itu. Indonesia sendiri merupakan negara hukum dan mempunyai perundang-undangan, sehingga apa yang dilakukan penguasa dan abdi negara itu merupakan kesalahan besar untuk menciptakan keamanan semu seperti itu. Masyarakat akan dibingungkan apakah harus menerima atau menolak atas perilaku penguasa kala itu.
Peningkatan kekerasan sangat ditonjolkan oleh Seno dalam cerpennya ini. Mulai dari mengamuknya para zombi, khususnya Ngadul yang memporak-porandakan markas Reserse Sarman. Kemudian, terjadi peningkatan intensitas kekerasan yang ditunjukkan oleh keputusan yang diambil komandan yang seharusnya bertugas menciptakan keamanan.
“Komandan! Salah satu zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius di Lubang Besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!”
“Tembak segera dengan rudal!”
 “Maaf Komandan! Itu tidak menyelesaikan masalah!”
Zombi itu mendekat dan membalikkan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat dan lari ke ruang lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding.
“Bintara Sarman! Kamu membantah perintah komandan?”
“Bukan begitu Pak! Rudal kita tidak akan cukup melenyapkan seluruh zombi!”
“Apa maksudmu Bintara Sarman? Zombi itu mengganggu kehidupan!”
Zombi menendang pintu sampai jebol. Reserse Sarman meloncati jendela dengan HT-nya.
“Apakah Bapak tidak ingat? Bersama Ngadul enam ribu penjahat kelas teri terbantai secara misterius! Masih ingat Pak?”
“Masih! Masih! Kenapa?”
“Kebanyakan mayatnya terkubur di Lubang Besar Pak Komandan!”
“Aku tahu! Lantas kenapa?”
“Ada laporan, banyak di antara mereka sudah tidak aktif lagi Pak! Yang terbantai misterius itu banyak yang sudah insaf Pak! Dan mereka semua tidak disembahyangkan Pak! Waktu itu tidak ada yang berani! Takut ikut terbantai Pak! Habis, waktu itu siapa saja bisa terbunuh secara misterius Pak!”
Grhhh! Zombi melompat dari jendela. Reserse Sarman memanjat pagar tembok.
“Jadi, apa kesimpulannya Bintara Sarman?”
“Pembantaian itu kesalahan besar Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati Pak! Mereka membalas dendam!”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Sembahyangkan mereka Pak! Harus dilakukan penyembahyangan massal Pak! Rudal kita cuma seratus! Tidak cukup untuk membasmi mereka! Sembahyangkan mereka Pak! Supaya rohnya santai!”
“Kamu bermimpi ya Bintara Sarman? Kamu ngelindur! Itu semua omong kosong! Kita sedang mengimpor rudal dari luar negeri! Kamu dengar itu? Enam ribu rudal sedang dikapalkan kemari! Mereka akan dibantai!” (Ajidarma, 2007: 35-36).

Penggunaan rudal untuk membasmi zombi menyebabkan masyarakat kehilangan harta mereka. Hal ini menggambarkan bahwa aksi militer merupakan tindakan kekerasan negara kepada masyarakatnya. Walau hal itu bisa mengatasi masalah atas mayat hidup, tetapi ketakutan juga dirasakan oleh masyarakat lainnya. Penguasa mengabaikan akibat yang akan terjadi setelah operasi itu selesai. Kebudayaan kekerasan yang diciptakan akan menjadi budaya yang akan diteruskan masa berikutnya, secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam hal ini, Soeharto menjalankan kekuasaannya melalui saluran militer. Soeharto menciptakan sebuah negara yang melanggengkan konsep dwifungsi militer yang bertujuan untuk menopang dan melindungi negara, jika perlu hingga mengorbankan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara dan militer tersebut. Pentingnya stabilitas sebagai prasyarat pembangunan pada masa Orde Baru telah dipakai untuk membenarkan berbagai tindakan opresif dan kekerasan. Negara adalah satu-satunya institusi yang memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan, dan negara Orde Baru tidak pernah ragu-ragu melakukan hal itu. Lebih jelasnya, Soeharto memanfaatkan rasa takut pada yang sengaja diciptakan melalui petrus untuk menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakannya. Hal ini sudah biasa digunakan dalam masyarakat yang memiliki pemerintahan otoriter. Kemauan Soeharto seperti yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan sehingga dapat menurunkan angka kejahatan di Indonesia.
Di sisi lain, pengambilan keputusan bersifat sentralistik, proses pengambilan keputusan yang yang bersifat top-down dan pendekatan oleh negara kepada masyarakat dengan model korporatif adalah merupakan ciri utama dari negara Orde Baru. Rasa takut menjadi alat untuk menciptakan kepatuhan. Selain itu, Soeharto melegalkan aksi petrus melalui saluran ideologi. Soeharto melalui petrus telah memberikan doktrin kepada masyarakat yang bertujuan untuk menerangkan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Dalam hal ini, wewenang yang dimiliki Soeharto telah dikembangkan dengan baik sehingga tercipta kekuasaan yang sah dengan kekerasan.

Dampak Kekerasan Negara terhadap Masyarakat pada Masa Orde Baru dalam Cerpen Grhhh!
Soeharto melaksanakan kepemimpinannya secara otoriter dalam menjalankan operasi petrus dengan dalih menciptakan keamanan. Aksi militer yang dijalankan menimbulkan banyak dampak. Hal itu digambarkan dalam cerpen Grhhh!. Aksi militer dalam menumpas kejahatan yang dilakukan para zombi atau mayat hidup hanya ampuh dengan rudal. Rudal yang diluncurkan yang bermaksud untuk menghancurkan mayat hidup itu memang berhasil, tetapi kota tempat mayat hidup itu berada hancur dan penuh puing-puing seperti perang.  Ibu kota seperti terlanda perang. Reruntuhan puing merata di mana-mana. Inilah akibat rudal yang diobral. Namun zombi terus bermunculan. Penggunaan rudal tersebut memang bisa menghancurkan mayat hidup itu, tetapi bukan hanya mayat-mayat hidup yang hancur, melainkan masyarakat juga menjadi korban kehilangan harta mereka. Penggunaan aksi militer ini merupakan tindakan kekerasan negara kepada masyarakatnya. Walau hal itu bisa mengatasi masalah atas mayat hidup, tetapi ketakutan dan kengerian juga dirasakan oleh masyarakat lainnya.
Kekerasan yang dilakukan negara pada dasarnya dalam rangka menciptakan keamanan dan kenyamanan masyarakat. Akan tetapi, kekerasan yang telah dilakukan negara menimbulkan dampak lain terhadap masyarakat. Dampak yang dirasakan masyarakat berbeda-beda, dapat berupa teror atas kekerasan yang dilakukan negara ataupun berupa afirmasi (penegasan) atas kekerasan negara itu sendiri. Dampak kekerasan negara juga sampai pada masyarakat dan lingkungannya seperti tersurat pada kutipan berikut.
Kalau dihitung-hitung, sudah dua puluh lebih mayat hidup bermunculan di berbagai sudut. Rekan-rekan Reserse Sarman setengah mati memantaunya. Setiap kali mesti digunakan rudal TOW untuk memusnahkannya. Celakanya rudal TOW ini bukan hanya menghancurleburkan si mayat hidup. Lingkungannya pun ikut hancur. Menteri Pengawasan Lingkungan Hidup sudah marah-marah (Ajidarma, 2007: 32).

Dalam cerpen Grhhh! terdapat hubungan antara penguasa dan abdi negara yang dipaksa untuk menjalankan perintah penguasa. Penguasa dalam cerpen ini adalah komandan, dan keputusan komandan dalam cerpen ini adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Walaupun bawahannya, Reserse Sarman, telah mencoba mengajukan pendapat, Komandan hanya mau melaksanakan sesuai keinginannya yaitu menggunakan rudal (aksi militer). Akibat keputusan yang diambil oleh komandan adalah kota bagaikan dilanda perang, banyak puing-puing berserakan akibat rudal.
“Komandan! Salah satu zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius yang legendaris di Lubang besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!”
“tembak dengan rudal!”
“maaf Komandan! Itu tidak menyelesaikan masalah!”
Zombi itu mendekat dan membalikan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat dari ruangan lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding.
“Bintara Sarman! Kamu membantah perintah komandan?”(Ajidarma, 2007: 35).

Abdi negara di sini merupakan individu yang patuh terhadap hukum untuk melakukan kejahatan. Perilaku seperti itu sebenarnya tipikal perilaku orang-orang pada masa kekuasaan Nazi yang tidak menggunakan penilaian menuruti setiap perintah dari pemimpin mereka. Mereka hanya membabi-buta melakukan aksi kekejaman dan kebiadaban. Akibatnya, kekejaman menjadi sesuatu yang dianggap wajar karena jika mereka mengungkapkan kebenaran, mereka justru dianggap salah. Kondisi ini serupa dengan yang terjadi pada masa Soeharto.
Militerisasi masyarakat Indonesia di masa Orde Baru tidak hanya berdampak pada dilakukannya kekerasan sistematik oleh negara, namun juga timbulnya budaya kekerasan dalam masyarakat. Kebudayaan kekerasan yang diciptakan akan menjadi budaya yang akan diteruskan masa berikutnya, secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks masyarakat semi-feodal dan paternalistik, seperti Indonesia, negara yang bersifat militeristik akan menghasilkan masyarakat yang termiliterisasi. Negara yang sarat dengan kekerasan akan melahirkan kekerasan pula. Jika negara ditempatkan sebagai institusi, sedangkan “pembangunanisme‟ sebagai ideologi-nya, maka dogma-dogma dari ideologi demikian akan memberikan penekanan total pada pembangunan ekonomi, materi dan fisik.
Soeharto sebagai penguasa hanya merencanakan dan abdi negara yang menjalankan. Abdi negara yang mendapatkan resiko atas rencana yang mereka buat. Bukan hanya abdi negara, akan tetapi masyarakat yang mendapatkan resiko menjadi korban.
Mantan preman Anton Medan memberi kesaksian, pada era 1982 – 1983, teman-temannya sesama preman habis dibunuh. ”Waktu petrus muncul, semua habis. Preman Jakarta yang memiliki nama, 90 persen habis. Efektif sih, tapi cara tidak benar,” kata Anton Medan pada majalah detik (Majalah Detik, 27 Februari-4 Maret 2012: 16).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan “petrus” bukanlah cara yang benar untuk menciptakan keamanan dan mengurangi kejahatan. Undang-undang yang berlaku di Indonesia sudah mengatur tentang hukum yang berlaku tentang siapa saja yang melakukan kejahatan serta hukuman yang dapat disanksikan. Pembunuhan sebagai hukuman tanpa bukti yang jelas, menjadikan “petrus” sebagai kejahatan itu sendiri dan pelakunya adalah penguasa yaitu Orde Baru.


DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2007. Penembak Misterius: Kumpulan Cerita Pendek. Yogyakarta: Galangpress.

Anonim. 2012. “Komnas HAM: Peristiwa Petrus Pelanggaran HAM Berat”. Sindo, 25 Juli 2012.

Nordholt, Nico G. Schulte. 2003. “Kekerasan dan Anarki Negara Indonesia Modern” dalam Huub de Jonge (ed). Orde Zonder Order. Yogyakarta: LkiS.

Ramidi. 2004. “Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Masa Soeharto”. Tempo, 23 Januari 2004.

Revianur, Aditya. 2012. “Komnas HAM: Petrus Termasuk Pelanggaran HAM Berat”. Kompas, 24 Juli 2012.

“Awas Petrus”. Majalah Detik, 27 Februari-4 Maret 2012


“Menguak Broker Sukhoi”. Majalah Detik, 21-27 Mei 2012

{ 1 komentar... read them below or add one }

- Copyright © Rika Wiijayanti - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -