Popular Post

Posted by : Rika Wijayanti Minggu, 19 Februari 2017

Citra Kami (Perempuan)
oleh: Rika Wijayanti

Kemiskinan, kekeringan, dan gagal panen adalah sebuah gambaran penting untuk memulai cerita pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Berawal dari keadaan inilah kepercayaan animisme dan adat-istiadat masyarakat Dukuh Paruk pada tahun 1960-an ditampilkan. Masyarakat Dukuh Paruk percaya pada leluhur Ki Secamenggala dan juga percaya bahwa untuk menjadi ronggeng tidak bisa sembarang orang, tetapi hanya orang terpilih yang kerasukan indang ronggeng.  Ronggeng di Dukuh Paruk saat itu sangat dibutuhkan untuk memberi warna dan semangat bagi warga desa yang mulai putus asa dengan gagal panen, kekeringan, dan kemiskinan.
Film Sang Penari terinspirasi dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Salah satu citra penting dalam novel yang tidak mampu tergambarkan pada film yaitu kekeringan. Pada film yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah ini justru menampilkan sawah yang subur dan air melimpah untuk menanam padi pada adegan di mana para petani perempuan sedang menanam padi. Tentunya kesalahan ini turut memengaruhi jalan cerita karena tanpa kekeringan tidak akan terjadi gagal panen dan tanpa gagal panen maka kemiskinan tidak dapat tergambar dengan kuat. Setting gagal terbentuk.
Sang Penari, membaca judul film memungkinkan film bercerita tentang penari atau dunia seni. Namun, setelah menyaksikan filmnya, kita akan memperoleh pemaknaan yang lebih dalam lagi mengenai gambaran perempuan sebagai pekerja seni, sebagai pelacur, sebagai ibu rumah tangga, dan sebagai pihak yang tertindas. Salah satu tokoh utama pada film ini adalah Srintil. Profesinya adalah penari ronggeng (pekerja seni & pelacur), lalu pada suatu saat timbul keinginan dalam dirinya untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Walaupun begitu, Srintil tetaplah perempuan yang tertindas. Ia terpaksa melacurkan diri sebagai syarat menjadi ronggeng yang sudah menjadi panggilan hatinya.
Ketidakadilan gender. Hal inilah yang terlintas di pikiran saya ketika melihat gambaran perempuan yang diwakili Srintil yang berprofesi sebagai seorang ronggeng. Gender adalah istilah yang merujuk pada seperangkat karakteristik yang dipandang manusia sebagai hal-hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, dari hal-hal biologis seperti jenis kelamin sampai peran sosial dan identitas gender. Lebih lanjut, ketidakadilan adalah berbagai diskriminasi (pembedaan, pengucilan, pembatasan) yang dibuat atas dasar jenis kelamin. Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu marginalisasi/pemiskinan ekonomi, anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip/pelabelan negatif, kekerasan, dan ideologi nilai peran gender.
Srintil sebagai seorang perempuan mengalami ketidakadilan gender seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini tergambar melalui percakapan Nyai Kartaredja yang sedang menasihati Srintil bahwa ronggeng itu tidak hanya perkara urusan tidur, tetapi juga kasur, batur, dan sumur. Artinya perempuan bertugas untuk melayani segala kebutuhan laki-laki, terutama kebutuhan seks. Memang kodrat perempuan adalah melayani pihak laki-laki, tetapi tidak hanya sebatas itu. Perempuan memiliki kedudukan sederajat dengan laki-laki, mereka memiliki hak yang sama, tidak hanya diperlakukan sebagai pemuas nafsu dan pembantu semata. Pandangan mengenai tugas perempuan yang bertugas di “kasur, dapur, dan sumur” berawal dari budaya masyarakat Jawa yang membatasi perempuan dalam relasi gender dan peran laki-laki lebih dominan dibanding perempuan.
Hal yang paling menonjol dan menghentakkan pembaca novel maupun penonton film menurut saya adalah syarat utama menjadi seorang ronggeng, yaitu tradisi pelelangan keperawanan ronggeng yang disebut bukak klambu. Tradisi ini mengharuskan Srintil melacurkan dirinya sebagai syarat sahnya menjadi seorang ronggeng. Menjadi ronggeng berarti Srintil adalah milik warga Dukuh Paruk, bahkan tubuhnya sekalipun. Dalam tradisi bukak klambu, para pria berlomba-lomba menghadiahkan berbagai macam benda untuk memenangkan sayembara keperawanan ronggeng. Barangsiapa yang membawa hadiah dengan harga termahal, maka ia pemenangnya. Pembentukan stereotip bahwa ronggeng adalah pelacur sangat kental walaupun dalam cerita ini dipaksakan oleh adat. Lagi-lagi perempuan terdiskriminasi.
Beriringan dengan tradisi bukak klambu, ada juga kepercayaan barangsiapa yang meniduri ronggeng, akan memberi kesuburan bagi si lelaki. Maka dari itu, para istri malah bangga jika suaminya bisa meniduri ronggeng, dengan harapan selanjutnya sang istri akan hamil jika bersetubuh dengan sang suami yang telah "menaklukkan" titisan Dewi Kesuburan. Pada adegan filmnya, setelah Srintil melayani seorang lelaki, istri dari lelaki tersebut masuk ke kamar bahkan memberikan sesuatu barang sebagai tanda terimakasih. Adegan ini cukup menggelitik bagi saya, bagaimana bisa seorang istri justru senang suaminya telah berhubungan intim dengan perempuan lain? Berdasarkan hukum Islam, seseorang yang telah menikah melakukan hubungan intim dengan orang lain berarti zina dan dikenai dosa besar. Agaknya adat telah mengobrak-abrik nilai-nilai di masyarakat.
Di sisi lain, ada tokoh Bakar yang tiba di Dukuh Paruk dan meyakinkan petani Dukuh Paruk untuk bergabung dengan partai komunis dengan dalih menyelamatkan wong cilik (kelas bawah) Dukuh Paruk dari kelaparan, kemiskinan, dan penindasan para tuan tanah yang serakah. Bakar juga meyakinkan penduduk dengan menyatakan keprihatinannya mengenai kondisi ronggeng yang begitu dibanggakan warga Dukuh Paruk, tetapi dapat diperjualbelikan keperawanannya untuk melayani kaum berduit.
Kesenian ronggeng dimanfaatkan Bakar untuk menggaet massa. Grup ronggeng Dukuh Paruk diundang untuk mengisi acara-acara partai yang dinaungi Bakar. Baik dalam kampanye maupun rapat-rapat. Srintil sebagai seorang penari ronggeng hanya digunakan sebagai alat partai, hiburan, dan pemuas nafsu para anggota partai. Di sini tersirat bahwa perempuan tidak penting dalam keputusan politik.
Pada waktu itu politik 1965 bergejolak. Kejanggalan G30S, misteriusnya Supersemar, sampai wacana bahwa PKI adalah korban manuver politik telah banyak diketahui orang. Dalam film Sang Penari, penyampaian peristiwa tersebut tidak serta merta kemudian disebutkan PKI dan dikibarkan bendera PKI, tetapi nama partai disamarkan menjadi Partai Rakyat dan benderanya berwarna merah. Sayangnya, adegan ini hanya digunakan sutradara sebagai pemicu konflik semata. Tentunya sutradara memiliki pertimbangan sendiri mengapa adegan ini tidak dikembangkan.
Walau demikian, bagaimana masyarakat Dukuh Paruk yang buta huruf dan tidak tahu-menahu tentang politik terjebak dalam pergolakan 1965, merupakan salah satu keberhasilan tersendiri dalam menggambarkan tragedi 1965. Warga desa, seniman ronggeng, pemangku adat, tak tekecuali diciduk oleh tentara dan dipenjara. Peristiwa ini tentunya sangat penting untuk diketahui masyarakat Indonesia secara umum dan menjadi pelajaran berharga untuk tidak menerima begitu saja nilai-nilai dari luar yang dijejalkan pada kita. Pengetahuan sangatlah penting, agar tidak dijajah akibat kebodohan sendiri.
Menurut saya, adegan-adegan yang disajikan dalam film  Sang Penari banyak yang hambar. Hal ini mungkin karena adegan-adegan yang potensial untuk dikembangkan, justru mandek, hanya ditampilkan sepintas lalu, atau justru tidak ditampilkan. Misalnya, untuk mengetahui Srintil pandai menari, Sakarya dan Kartaredja mengintip Srintil yang masih berusia 11 tahun menari diiringi calung mulut Rasus dan teman-temannya. Dari sinilah muncul kepercayaan bahwa Srintil telah kemasukan indang ronggeng. Ini di versi novelnya, sedangkan di versi filmnya tidak dihadirkan. Peristiwa awal yang penting justru dilewatkan oleh sutradara. Kemudian, pada saat ritual bukak klambu juga tidak menampilkan konflik batin Srintil, Srintil hanya cemas dan mulai menyerahkan keperawanannya dengan mudah.
Selanjutnya, Srintil digambarkan berhenti meronggeng dan melacur setelah disadarkan Rasus. Lagi-lagi tidak ada konflik batin yang kuat. Di sini dalam diri Srintil muncul jiwa keibuan. Ia ingin hidup layaknya perempuan lain, menjadi seorang istri dan mempunyai anak. Oleh karena Rasus telah pergi, Srintil melihat Goder, bayi anak tetangganya sebagai suatu hal yang menarik. Anehnya, begitu cepat sekali adegan ini diakhiri. Goder langsung direbut dari gendongan Srintil oleh para perempuan kampung. Sebaiknya adegan ini digarap lebih dalam lagi supaya pesan yang ingin disampaikan lebih jelas dan penonton tidak bingung mengapa harus ditampilkan adegan tersebut.
Hal paling mendasar dalam film yang berjudul Sang Penari tentunya harus ditampilkan tarian ronggeng yang luar biasa. Nyatanya, hal ini tidak ada. Srintil hanya ditampilkan menari sekenanya meski ekspresinya bagus. Itu pun dalam durasi yang singkat. Tari ronggeng yang merupakan salah satu budaya Indonesia tidak dieksplorasi dengan baik. Padahal, jika ditampilkan secara utuh dapat menampilkan kekayaan budaya Indonesia.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, film Sang Penari toh tetap mewakili ruh novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pembaca karya sastra tentunya memiliki sudut pandang, fokus, dan pemaknaan yang berbeda-beda. Dan inilah pemaknaan novel Ronggeng Dukuh Paruk dari sutradara Ifa Isfansyah.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Rika Wiijayanti - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -