Popular Post

Posted by : Rika Wijayanti Jumat, 03 Maret 2017

Seekor Capung Merah

 Rilda A. Oe. Taneko (Media Indonesia, 25 Mei 2014)

TIRAI bambu melindungiku dari hangat mentari yang mulai terbenam. Aku berdiri di beranda rumahnya Rumi,  tetangga sebelah rumahku, dan memanggil-manggil namanya. Di samping tirai bambu, sebuah lonceng angin berkelening.
Rumi muncul dari balik pintu kawat nyamuk. Wajahnya ditutupi bedak putih. Dia menyukai itu. Dia selalu menepuk-nepuk wajahnya dengan bedak tebal setelah mandi sore.
“Datanglah ke lapangan denganku,” pintaku. 
“Tapi aku sedang menonton TV,” kata Rumi.
Di jam seperti ini, televisi sedang menanyangkan sebuah kartun Jepang. Sebuah film tentang robot jahat, yang merusak seluruh bumi, dan lima orang pahlawan yang, di akhir film, selalu berhasil menyelamatkan semesta. Sebenarnya kartun itu adalah kartun favoritku juga. Tapi, sore itu aku terlalu takut untuk tinggal di rumah dan menonton televisi.
“Ayolah ikut aku,” aku berbisik, “Aku punya rahasia.”
Rumi selalu menyukai rahasia. Dia menghilang ke dalam rumahnya untuk berpamitan dengan ibunya. Kemudian kami berjalan berdampingan. Keliman bordir dari daster kami bergerak harmonis. Kaki kami telanjang. Aku bisa merasakan batuan padat dan tanah di bawah kakiku.
Rumi berusia satu tahun lebih tua dan bertubuh sedikit lebih tinggi dariku. Aku berumur sembilan saat itu, dan apa yang terjadi di rumah membuatku teramat takut.
***
SAAT kami tiba di lapangan, langit berwarna violet gelap. Azan dari masjid menggema, bersahut-sahutan. Capung-capung terbang di atas ujung runcing ilalang. Berbeda dengan sebagian besar capung yang berwana hijau, beberapa dari mereka berwarna merah. Mereka tampak benar-benar indah.
Angin bertiup malas, menggerakkan ilalang ke kiri dan ke kanan, kiri dan kanan. Angin membawa bau daun terbakar. Gemerisik daun kelapa membuatku mengantuk.
Rumi mengambil beberapa helai bunga ilalang. Dia memberiku satu dan menyuruhku meletakkan ilalang itu secara horisontal di antara bibirku. Dia mengatakan rasa ilalang itu manis. Aku mengikuti instruksinya dan betapa terkejutnya aku, Rumi menarik ujung ilalang itu dari bibirku. Bunga ilalang yang kemerahan tersisa di mulutku, membuatku terbatuk. Rumi tertawa. Aku mengejarnya, membelah tinggi ilalang. Ketika akhirnya aku berhasil melintasi ilalang dan sampai di ujung lain lapangan, kakiku terasa sangat gatal. Rumi juga menggaruk-garuk tangan dan kakinya.
“Apa rahasianya?” tanya Rumi. “Katakan padaku.”
Rumi duduk di sebuah bangku semen persegi panjang di dekat pohon pepaya sambil membungkuk, menyentuhi dedaun putri-malu. Seekor capung merah berada di dekat Rumi. Capung itu membuat lingkaran di atas kepala Rumi beberapa kali dan kemudian hinggap di daun pepaya.
“Tadi aku mandi,” kataku sambil mengebaskan tangan di samping telinga. Aku mendengar denging nyamuk.
“Terus?” tanya Rumi tak sabar.
Pada saat itu, aku mendengar ayahku memanggilku dari kejauhan. Mendengar suara ayah, aku menangis.
Ayah mendekati kami. Dia tampak begitu tinggi, gelap dan besar. Kumisnya begitu tebal. Dia berdiri tak jauh dari lampu jalan, di jalan tanah di dekat lapangan, dan memintaku untuk segera pulang.
“Jangan menangis,” pintanya.
Tapi tetap saja aku menangis tersedu-sedu. Ayah membungkuk, menyamakan tinggi wajahnya dengan wajahku.
“Ayah tahu kamu tidak sengaja. Sudah, tidak apa-apa.”
“Tapi itu kamar mandi yang baru Ayah bangun,” kataku.
“Tidak apa-apa,” ayah menjawab sambil tersenyum. Dia membelai rambutku.
Aku tahu sesungguhnya ayah kecewa. Dia menghabiskan banyak uang untuk membangun kamar mandi itu. Kamar mandi itu baru saja selesai dua hari yang lalu, berlantai dan berdinding keramik biru. Meski tidak ada kloset siram, tapi kloset yang ada bersih dan biru. Kamar mandi itu memiliki pancuran dan ada keran air di bawah pancuran itu.
Senja tadi, ketika aku mandi dengan kakakku, kami berlarian dan berputar-putar di bawah air pancuran. Lalu aku mulai bermain dengan keran air, membuka dan menutupnya, membuka dan menutupnya. Setelah itu, aku mengalungkan tanganku di pipanya, mengangkat tubuhku dan bergantung di pipa. Pipa itu retak dan air tersembur keluar.
Serta-merta kakakku berteriak memanggil pelayan kami, Mbak Soep, yang kemudian datang dengan berlari dan panik. Mbak Soep mengambil banyak kantong plastik dari dapur dan memasukkannya ke dalam lubang pipa. Air berhenti menyembur. Tapi itu tidak membuatku berhenti menangis.
Ayah selalu marah jika aku dan kakakku datang terlambat ke sekolah, atau jika kami melakukan kesalahan. Aku begitu takut menghadapi saat ayah pulang kerja, karenannya aku menyelinap keluar dari rumah dan memanggil Rumi.
Tetapi, di lapangan ilalang tempat capung-capung berterbangan, aku bisa melihat bahwa ternyata ayah tidak marah. Awalnya ayah tampak begitu khawatir. Tapi kemudian ia tampak lega ketika ia menemukanku.
“Kamu harus pulang sekarang, begitu juga dengan Rumi. Berbahaya bagi anak-anak untuk bermain sendiri ketika hari sudah gelap.”
Ayah meraih tanganku dan Rumi. Sebelum meninggalkan lapangan, ia menatap sekitar. Melalui matanya, aku bisa merasakan bahwa ia takut akan sesuatu. Sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.
***
SEHARI setelah malam itu, aku tidak diizinkan untuk pergi jauh dari rumah. Ayah hanya beralasan hal itu berbahaya. Dari Mbak Soeplah aku tahu bahwa ada orang-orang jahat di luar sana. Mbak Soep berkata orang-orang itu meracuni sumur warga dan menculik anak-anak. Mereka juga membunuh orang-orang dewasa. Mereka mengenakan pakaian hitam dari kepala sampai kaki, hanya bagian mata yang terlihat, seperti ninja.
Tidak ada seorang pun yang pernah melihat mereka. Meski begitu, tampaknya, semua orang tahu tentang mereka, seolah cerita tentang ninja-ninja itu berasal dari burung-burung kecil yang berkicau atau angin yang bertiup.
Jadi hal itulah yang aku sampaikan pada Rumi, ketika kami duduk berdampingan di bangku kayu di depan rumahku. Mbak Soep menyapu daun rambutan di pekarangan dengan sapu lidi, tidak jauh dari tempat Rumi dan aku duduk.
“Ninja-ninja itu tidak ada,” kata Rumi.
Aku mengerutkan kening.
“Bapakku bilang itu hanya karangan saja. Untuk menakut-nakuti orang-orang. Bapakku bilang, sesungguhnya yang jahat adalah yang mengarang cerita bohong. Bapakku tidak mengizinkan aku berbohong,” terang Rumi.
Ayahnya Rumi mengajar di universitas terbaik di provinsi kami. Rumi dan keluarganya baru saja kembali dari Eropa dua tahun lalu. Mereka menghabiskan lebih dari delapan tahun di Eropa untuk pendidikan ayahnya Rumi.
Ayahnya Rumi sering mengunjungi kota-kota dan kampung-kampung untuk memberikan ceramah atau kuliah tentang Islam. Ayahku pernah bilang ia adalah seorang idealis.
“Tapi kenapa ada yang mau mengarang cerita mengerikan seperti itu? Mengapa mereka ingin membuat orang takut?” tanyaku pada Rumi.
“Aku tidak tahu,” jawab Rumi.
“Aku tidak mau diculik,” kataku.
“Aku juga,” balas Rumi.
“Aku tidak mau orangtuaku dibunuh,” kataku.
“Aku juga,” Rumi menyetujui.
“Kalau ternyata ninja-ninja itu benar ada, apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
Alis Rumi bertaut. Ia mengigiti kuku jempol tangan kanannya.
Tak lama kemudian, Rumi berkata, “Mungkin jika rumah kita terlihat kosong, mereka tidak akan pernah datang.”
“Ya,” kataku, “aku setuju.”
Oleh karena itu, kami mengambil serakan daun dan tanah dari halaman. Kami menaburkan daun di setiap sudut rumah, lalu menggosok-gosokkan tanah ke dinding putih, agar terlihat kotor.
Mbak Soep marah besar ketika mendapati apa yang kami lakukan.
***
KEESOKAN paginya, saat sarapan, dari percakapan ibu dan ayah, aku tahu bahwa pemerintah, polisi dan tentara telah menyuruh semua orang untuk tinggal di rumah. Tak seorang pun diizinkan untuk keluar, terutama di malam hari. Alasan mereka adalah demi keamanan.
Kami semua berdiam di rumah. Orangtuaku tidak pergi bekerja. Kakakku dan aku tidak pergi ke sekolah.
Malam harinya, suasana di luar sangat tenang. Tidak ada suara penjual makanan, yang biasanya menjual makanan mereka di sekitar daerah perumahan kami dengan memukul-mukulkan tongkat bambu mereka pada gerobak, atau meneriaki nama makanan mereka: sate ayam, siomay atau bakso.
Kakakku dan aku menghabiskan malam dengan menonton televisi. Setelah itu kami pergi tidur lebih awal dari biasanya.
***
PAGI-PAGI sekali, aku mendengar kabar terburuk seumur hidupku: ada pembantaian massal. Ayahnya Rumi tewas dibunuh. Tiga hari yang lalu, ia pergi ke sebuah kampung, untuk memberi ceramah. Tadi malam, kampung itu diserang oleh tentara. Seluruh kampung dibakar. Perempuan dan anak-anak yang bersembunyi di sebuah masjid juga hangus dibakar. Beberapa orang mengatakan pembantaian itu dikarenakan beberapa tokoh kampung itu dianggap sebagai musuh negara.
Banyak orang, termasuk semua tetangga kami dan kami, berbondong-bondong datang ke rumah Rumi. Semua orang berduka. Di dalam rumah, orang-orang duduk berdampingan, membaca Surah Ya Sin. Banyak pelayat yang menangis.
Harum melati, kenanga, mawar dan daun pandan dari keranjang bambu mengisi rumah. Satu-satunya hal yang kurang adalah jenazah ayahnya Rumi.
Aku mencari-cari Rumi dan tidak menemukannya di dalam rumah. Aku pergi ke halaman belakang. Di sana, banyak perempuan, yang menutupi rambut mereka dengan kerudung berwarna-warni, duduk di taras keramik biru. Mereka merangkai melati, kenanga dan bunga-bunga lain menjadi rantai-rantai kalung bunga yang sangat panjang.
Aku menemukan Rumi duduk di bawah pohon belimbing, tak jauh dari teras. Dia sedang menggurat bentuk-bentuk pada tanah dengan ranting. Ketika aku mendekat, aku melihat ada seekor capung merah hinggap di rambutnya yang hitam, serupa jepit rambut. Sayap-sayap merah capung itu beristirahat damai di kepala Rumi.
Capung itu membuat Rumi tampak begitu cantik.

Lancaster, Maret 2011
Rilda A. Oe. Taneko, berasal dari Lampung. Belajar menulis kreatif di The Story Institute dan Lancaster College. Kini ia menetap di Inggris.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Rika Wiijayanti - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -