- Back to Home »
- Bahasa dan Sastra Indonesia »
- Stop Budaya Patriarki!
Posted by : Rika Wijayanti
Minggu, 19 Februari 2017
Stop
Budaya Patriarki!
oleh: Rika Wijayanti
Seminar nasional
“Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan” di FBS UNY pada 26 November 2015 lalu
menghadirkan empat pembicara. Yudi Latif dengan makalah berjudul “Bahasa dan
Mentalitas Kebangkitan”, Suminto A. Sayuti dengan makalah “Sastra dan
Kekuasaan”, Teguh Setiawan dengan makalah “Kekuasaan dalam Bingkai Bahasa”, dan
Wiyatmi dengan makalah “Menggugat Kuasa Patriarki melalui Sastra Feminis”. Tulisan
ini berfokus pada makalah Wiyatmi yang ingin mengungkapkan bagaimana sastra
feminis menggugat kuasa patriarki.
Budaya patriarki di
mana laki-lakilah yang dianggap tangguh dan perempuan adalah warga negara kedua
begitu mengakar di Indonesia, bahkan dunia. Seluruh bidang kehidupan, baik
disadari atau tidak telah meneguhkan tahta laki-laki di atas perempuan. Salah
satu contoh yang disampaikan Wiyatmi yaitu adanya kepercayaan bahwa perempuan tidak
dapat mandiri secara ekonomi. Hingga sekarang, di Indonesia, ketika seorang
perempuan ingin membuka kredit di bank, ia harus mendapatkan persetujuan bapak
atau suaminya–seorang laki-laki. Lalu, bagaimana dengan seseorang yang bapaknya
sudah meninggal dan tidak bersuami dan dia hanya anak sendiri? Ya dengan paman.
Selalu laki-laki karena dianggap lebih tepercaya.
Dalam lingkup negara,
perempuan juga masih dikesampingkan. Kedudukan perempuan di lembaga
pemerintahan sangat dibatasi. Peraturan terbaru, kuota anggota lembaga
legislatif untuk perempuan adalah 30 % dari jumlah keseluruhan. Hal ini
dimaksudkan untuk memastikan bahwa perempuan mendapat kursi, tetapi juga dapat
berarti lain yaitu pembatasan terhadap perempuan. Namun, tanpa peraturan ini,
nyatanya kursi untuk perempuan jauh lebih sedikit. Penyebabnya karena
ketidakpercayaan kaum laki-laki terhadap kepemimpinan perempuan.
Lalu, apa yang membuat
kuasa patriarki begitu langgeng hingga kini? Melihat kebiasaan masyarakat di
Indonesia, kaum perempuan sendiri memiliki andil yang dominan dalam
melanggengkan kekuasaan patriarki. Bagaimana tidak, dalam kehidupan sehari-hari
mereka masih menempatkan laki-laki pada posisi superior. Misalnya, satu keluarga
memiliki dua anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Orang tua,
khususnya ibu lebih banyak membebankan pekerjaan rumah kepada anak perempuan
dengan salah satu dalihnya “agar kelak dapat melayani suami (laki-laki)”. Atau
karena dialah anak “perempuan”. Di sini “perempuan” dimaknai sebagai orang yang
bekerja melayani laki-laki, mengurus pekerjaan rumah.
Ketika budaya patriarki
telah tertanam begitu kuatnya di dunia, muncullah perlawanan dalam wujud sastra
feminis yang diciptakan oleh para sastrawan feminis sebagai genre sastra yang
tidak hanya mengusung gagasan kesetaraan gender, tetapi juga ingin menciptakan
model penulisan perempuan. Sastra feminis juga melakukan kritik terhadap
ketidakadilan gender dalam penulisan sejarah sastra dan kritik sastra. Melalui
karya-karyanya, sastrawan perempuan Indonesia seperti N.H. Dini, Ayu Utami,
Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, dan lain-lain berupaya menggugat kuasa
patriarki melalui dunia simbolis yang diharapkan mampu menyadarkan masyarakat
pembaca mengenai pentingnya keadilan, kesetaraan, dan eksistensi perempuan
dalam masyarakat dan negara.
Kesetaraan yang
dimaksud dalam sastra feminis bukan kesamaan antara perempuan dan laki-laki
dalam segala hal (termasuk kesamaan biologis), tetapi sebuah pandangan yang
berbeda tentang konstruksi perempuan di dalam dunia sosial. Hal ini dikarenakan
para aktivis feminis menyadari adanya perbedaan kodrat perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan gender
seringkali terhambat oleh konstruk budaya. Laki-laki diidentikkan dengan sifat
maskulin (misalnya macho, tangguh, bertanggungjawab, dan sebagainya), sedangkan
perempuan identik dengan sifat feminin (seperti lemah, anggun, dan sebagainya). Sifat-sifat yang dilabelkan pada perempuan tersebut
menimbulkan diskriminasi. Perempuan seringkali tidak mendapat kepercayaan
karena ada label sifat “lemah”.
Selain sastrawan
perempuan, banyak juga sastrawan laki-laki yang menyuarakan feminisme, salah
satunya Y.B. Mangunwijaya. Dalam novel Rara
Mendut, Y.B. Mangunwijaya menyuarakan gagasan tentang kebebasan wanita
serta persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam tatanan
masyarakat yang diceritakan ulang dari cerita rakyat babad tanah Jawa. Dalam
novel ini, Y.B. Mangunwijaya memperlihatkan perbedaan posisi perempuan dan
laki-laki dalam kerajaan Pati Pragola. Semua milik raja menjadi milik sang
pemenang dalam peperangan, termasuk wanita ataupun selir raja. Perempuan disamakan
nilainya dengan harta benda. Perempuan tidak memiliki kekuatan atas kekuasaan
yang berlaku di dalam suatu daerah. Daerah mengkonstruk perempuan seperti apa
yang diinginkannya. Perempuan tidak dapat melakukan perlawanan terhadap bentuk
kebudayaan di mana kebudayaan itu telah mengakar dalam bentuk kuasa laki-laki.
Kehidupan masyarakat
pada saat itu, bahkan sampai saat ini sebagian besar masyarakat berpikir bahwa
perempuan harus bersifat feminin. Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya menampilkan
bentuk wanita ideal dalam diri tokoh Rara Mendut yang berbeda dengan
wanita lain. Mulai dari cara berpikir sampai pekerjaan yang dilakukannya.
“Pasti lagi
gadis nelayan itu, pikir Nyai Singabarong. Perkiraan sang ibu betul. Pranacitra
memang sedang mencari gadis yang sudah berminggu-minggu menarik perhatiannya.
Seorang gadis anak sulung nelayan yang di pelabuhan nelayan terkenal dengan
sebutan Rara Ireng atau kadang-kadang juga Nyai Rara Lor, karena sangat pandai
mengatur layar, mengemudi perahu, dan tak kenal lelah bila mengayuh. Hitam
manis sembadra, tetapi hanya dalam bentuk wadaqnya. Jiwanya, semengatnya serba
trengginas Srikandi…. kekhawatiran Nyai Singabarong sebetulnya
berlebih-lebihan. Mungkin karena pikiran ibu sudah menuju ke seorang gadis
perempuan ideal dalam rumah saudagar gading Abdullah….” (hlmn 142).
Y.B. Mangunwijaya
memperlihatkan perlawanan perempuan terhadap bentuk kekuasaan patriarki. Perlawanan tersebut terjadi ketika Rara Mendut,
seorang perempuan rampasan akibat kekalahan perang diminta untuk menari. Ia mau
menuruti permintaan raja dengan memberikan sebuah syarat baru. Apabila syarat
tersebut dipenuhi, maka ia akan melakukan hal yang diperintahkan raja. Selain itu, Y.B. Mangunwijaya juga memperlihatkan bahwa
sebagian besar perempuan tidak dapat memilih (pasif). Perempuan tidak memiliki
kebebasan layakanya kaum laki-laki, bahkan dalam hal memilih pasangan sekalipun.
Perempuan hanya dipilih dan harus menerima keputusan, terlebih jika seorang
raja atau tumenggung yang menghendaki. Kebebasan perempuan ditiadakan.
Selain itu, bentuk
perlawanan lain yaitu pelarian Rara Mendut. Bentuk pelarian yang dilakukan oleh
Rara Mendut bersama dengan kekasihnya telah meruntuhkan kekuasaan tumenggung
Wiraguna terhadap perempuan. Pelarian itu adalah sebuah pilihan, dan Rara
Mendut telah memberikan pilihan bahwa perempuan bebas dalam memilih sekalipun
dalam bentuk kerajaan di mana budaya dan masyarakat patuh terhadap raja.
Gugatan dari sastra
feminis tidak selalu berjalan lancar. Berbagai tanggapan negatif terhadap
karya-karya sastra feminis bermunculan. Menurut Wiyatmi, hal ini menunjukkan
adanya kuasa patriarki yang selain meremehkan kualitas karya para sastrawan
perempuan, juga memberikan anggapan bahwa kaum perempuan harus selalu menjaga
sopan santun dalam berekspresi, termasuk dalam mengekspresikan pengalaman
keperempuanannya. Padahal ketika kaum laki-laki mengangkat tema seksualitas,
tidak ada masalah. Hal ini karena para kritikus laki-laki dianggap mewakili
suara patriarki.
Nama dan karya para
sastrawan perempuan tenggelam dalam sejarah sastra. Hal ini tidak lain
disebabkan oleh kuasa patriarki dalam struktur ilmu pengetahuan, termasuk ilmu
sastra. Wiyatmi mengusulkan bahwa untuk mengakhiri kuasa patriarki, perlu
kajian ulang terhadap karya-karya sastra di Indonesia dalam perspektif feminis.
Masyarakat perlu memberikan kemerdekaan dan apresiasi terhadap para sastrawan
perempuan untuk bebas berkreasi dan melahirkan karya-karya sastra feminis yang
dapat ikut serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya keadilan, kesetaraan
gender, dan menghargai eksistensi perempuan, bukan malah memberikan kecaman dan
kritikan yang merendahkan.
Penulis setuju dengan
usulan Wiyatmi di atas. Perempuan memiliki hak untuk memperjuangkan apa yang
telah menjadi haknya, yaitu kesetaraan gender. Di sisi lain, perempuan juga
harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang turut serta melanggengkan kuasa
patriarki. Jadi, apabila ingin menghentikan kuasa patriarki, maka perempuan
tidak bisa hanya melawan dengan senjata sastra feminis saja, tetapi juga harus
menghentikan praktik budaya yang menempatkan laki-laki pada posisi superior. Negara
juga harus menetralkan aturan-aturan yang sekiranya memarginalkan kaum perempuan.
Melalui usaha bersama dari seluruh lapisan masyarakat, semoga kesetaraan gender
antara laki-laki dan perempuan dapat terwujud.