- Back to Home »
- Bahasa dan Sastra Indonesia »
- Melawan Eksploitasi melalui Puisi
Posted by : Rika Wijayanti
Minggu, 19 Februari 2017
Melawan
Eksploitasi melalui Puisi
oleh: Rika Wijayanti
oleh: Rika Wijayanti
Antologi puisi Orang-Orang Rangkasbitung memuat 10
sajak karya Rendra yang ditulisantara tahun 1990-1992. Dalam antologi tersebut Rendra
memotretperistiwa sejarah mengenai penderitaan rakyat kelas bawah di Indonesia
yang diwakili oleh rakyat Rangkasbitung sejakzaman penjajahan Belanda sampai
zaman kemerdekaan. Protes sosial dan kesenjangan sosial antara rakyat bawah dan
penguasa sering menjadi topik dalam puisi Indonesia di era 70-an sampai 90-an.Masalah
ketidakadilandan korupsisangat mendominasi dari zaman penjajahan bahkan hingga
sekarang.Penggusuran tanah milik rakyat bawah sering terjadi dengan alasan
untuk pembangunan. Rakyat bawah hidup serba kekurangan sedangkan penguasa hidup
dalam kemewahan. Hal-hal tersebut yang menjadi fokus Rendra pada antologi puisi
ini.
Rangkasbitung sebagai
latar utama dalam puisi ini merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Lebak provinsi
Banten.Orang-orang Rangkasbitung hidup menderita karena ditindas oleh kaum
penjajah Belanda. Pada zaman kemerdekaan pun masih banyak rakyat bawahyang
menjadi korban penggusuran tanah untuk pembangunan-pembangunan kota yang
dimotori penguasa dari negeri sendiri.
Buku kumpulan puisi
karya Rendra ini terinspirasi dari kisah Saijah dan Adinda serta buku Max Havelaar
karangan Multatuli.Dikisahkan Saijah dan Adinda tinggal di Badur, bagian dari
distrik Parang Kujang, sebuah dusun di Lebak, Banten Selatan. Mereka hidup di
tengah kemiskinan yang disebabkan oleh kelaliman kepala distrik, Wira Kusuma
yang suka merampas hak milik penduduk. Saijah telah mengenal Adinda sejak kecil
dan mereka berencana akan kawin kemudian.Adinda sebagai putradari petani yang
kehilangan kerbaunya karena dirampas oleh Wira Kusuma. Padahal,kerbau itu yang
telah menyelamatkan Saijah dari terkaman harimau. Ia tidak tahan hidup diLebak setelah
Adinda tidak dilutdhui rimbanya. Saijah lari ke kampung, bergabungdengan rakyat
kampung yang melawan penjajah, dan akhirnya mati diujung bayonet.
Dalam buku Max
Havelaar, dikisahkan di Lebak, Banten Selatan kala itu sedang menunggu Asisten
Residen baru pengganti Slotering yang mati dibunuh. Asisten Residen yang baru
ditunjuk itu adalah Max Havelaar. Havelaar tiba di ibu kota baru distrik Lebak:
Rangkasbitung. Havelaar berjanji akan melindungi semua orang miskin dan
tertindas yang ditemuinya. Melindungi penduduk pribumi dari pemerasan dan
tirani. Havelaar akan melawan kekuasaan korup dan sewenang-wenang yang sedang
berlangsung di Lebak. Perampokan kerbau, kerja tanpa bayaran, dan penyiksaan.
Sehari setelah kedatangannya di Lebak, Havelaar berpidato. Secara tegas ia menyampaikan
keberpihakannya pada rakyat bawah. Havelaar memberitahukan bahwa tugas pemimpin
bukanlah menumpuk kekayaan, tetapi harus meninggalkan kepentingan pribadi. Ia
juga memperingatkan pemimpin Lebak yang banyak melakukan penyimpangan sehingga menyebabkan
kemiskinan di desa-desa.
Beberapa catatan penyalahgunaan
kekuasaan di Lebak didapatkan Havelaar dari arsip yang ditinggalkan
pendahulunya: Slotering alias C.E.P. Carolus. Dari dokumen-dokumen yang
ditemukannya itu,ia membentuk suatu gambaran mengenai kesewenang-wenangan
terhadap penduduk Lebak. Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh bupati dan
kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parang Kujang, Raden Wira Kusuma, dan menantu
Adipati Lebak, Karta Nata Negara. Adipati Lebak waktu itu sangat ditakuti dan
sangat dihormati oleh penduduk.
Slotering meninggal
karena diracun. Slotering sedang menyelidiki penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh para penguasa di Lebak dan berencana akan melaporkannya. Slotering
telah mengadukan kepada Residen Banten, C.P. Brest van Kempen alias Slijmering.
Pembicaraannya dengan residen selalu sia-sia karena hal ini sudah umum
diketahui bahwa pemerasan itu untuk kepentingan penguasa dan di bawah
perlindungan Adipati Lebak. Akhirnya Residen Banten tidak mau mengadukan
Adipati kepada pemerintah Hindia Belanda.
Puisi Nyanyian Saijah untuk Adinda, Kesaksian Bapak Saijah, dan Demi Orang-Orang Rangkas Bitung mewakili
isi kumpulan puisi ini.
Nyanyian Saijah untuk
Adinda
Adinda! Adinda!
Aku dirampok orang di jalan.
Mereka tikam perutku, punggungku dan
leherku.
Mereka rampas seluruh uang simpananku.
……………………………………………
Kemiskinan telah memisahkan kita.
Sepuluh tahun menahan dahagaasmara
Alangkah sulit cinta di zaman edan,
di dalam hidup penuh ancaman.
Semua hak dianggap salah.
Tak punya apa-apa dianggap sampah.
Alangkah hina orang yang kalah.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:39)
Kutipan di atas menyiratkan adanya tindak kekerasan
dan kekejaman perampok sebagaipesuruh dari pejabat lokal yang menjadi antek
Belanda. Saijah sebagai rakyat bawah(petani) menjadi korban kekejaman penguasa.
Masyarakat kalangan bawah dianggap tidak berguna, bahkan hak-hak mereka
dikebiri oleh para penguasa.
Penguasa yang zalim juga semakin dipertegas pada
puisi Demi Orang-Orang Rangkasbitung.
Sejak zaman penjajahan rakyat Rangkasbitung hidup menderita demi kepentingan
penguasa. Praktik penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Lebak, Banten
inimendorong seorang residen Belanda untuk membela rakyat yang tertindas oleh kekuasaan.
Para penguasa tidak menyadari telah mengambil hasil bumi, merampas hak, dan
membuat rakyatnya sengsara sampai tidak dapat berbuat apa-apa. Multatuli yang
disebut pada puisi di atas adalah nama samaran dari Doewes Dekker yang menulis buku
Max Havelaar.Beliauadalah orang Belanda yang memihak kepada rakyat tertindas
yang tidak lain adalah rakyat Indonesia.
Demi
Orang-Orang Rangkasbitung
Nama saya
Multatuli
Datang dari masa
lalu
Dahulu abdi dari
kerajaan Belanda
Ditugaskan di
Rangkasbitung
ibu kota lebak
saat itu
Satu pengalaman
yang penuh ujian.
Rakyat ditindas
oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya
bisa berkeringat,
tidak bisa
tertawa
dan hak pribadi
diperkosa.
(Orang-Orang
Rangkasbitung, 1993:52)
Masyarakat kala itu hidup tanpa pillihan. Mereka
hanya dapat mengikuti kemauan penguasa. Meski demikian, mereka juga tidak punya
daya untuk melawan. Hal ini terdapat pada kutipan puisi Kesaksian Bapak Saijah dan dipertegas pada puisi Demi Orang-Orang Rangkasbitung.
Kesaksian Bapak Saijah
………………….
Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan
kekuasaan.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:35)
Demi Orang-Orang
Rangkasbitung
………………….
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
...................................................
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan
penjajahan.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:53)
Sejak zaman penjajahan Belanda para penguasadi
Lebak, Banten telah melakukan berbagai penyimpangan. Kebijakan yang hanya
memihakpenguasa, korupsi, penggusuran tanah milik rakyat. Lagi-lagirakyat bawahlah
yang menjadi korban. Mereka yang bekerja keras tidak dapat menikmati hasil
jerih payahnya. Sementara bangsa Indonesia menderita di tanahnya sendiri,bangsa
Belanda sebagai penjajah hidup makmur di negerinya, mereka dapat melakukan
apasaja dengan tentram dan terjamin. Ironisnya, mereka menikmati kesuksesan
penjajahan secara sadar. Peri kemanusiaan nampaknya telah sirna.
Puisi Demi
Orang-OrangRangkasbitung mengacu pada isi buku Max Havelaar karya
Multatuli. Rangkasbitung ditemukan dalam pidato Multatuli yang isinya tentang orasi
sumpah Douwes Dekker, seorang Belanda yang menyadari praktik penindasan di
Indonesia. hatinya tergerak untuk membela rakyat Indonesia yang tergilas haknya
oleh pemimpin sendiri. Manusia Indonesia yang diperlakukan seperti hewan yang
diperas tenaganya tanpa dapat menikmati hasil dari kerja kerasnya sendiri.
Demi Orang-orang
Rangkasbitung
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli.
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi kerajaan Belanda.
Ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman yang penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka
sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa
dan hak pribadi diperkosa.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:52)
Melalui puisi Rendra melawan eksploitasi. Penjajahan
adalah sejarah kelam bangsa Indonesia di mana alam dan manusia dieksploitasi
habis-habisan oleh sesama (bangsa lain dan bangsa sendiri). Penguasa menindas
rakyatnya sendiri. Ironis. Rendra mengingatkan kita tentang ketidakadilan,
penindasan, kemunafikan, teror kekuasaan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan di
Indonesia melalui puisi-puisinya dalam antologi Orang-Orang Rangkasbitung.
Puisi-puisi Rendra pada antologi Orang-Orang Rangkasbitungbukan lagi
menggambarkan tentang sesuatu atau sekadarkesaksian tentang peristiwa di
masyarakat, tetapi Rendra menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu
dalam puisinya.Di balik itu, buku ini berisi 10 judul puisi yang panjang-panjang.
Tampaknya hal ini kurang efisienbagi penulisan puisi.Diksi dalam puisi berbeda
dengan diksi pada jenis tulisan lain, satu kata saja dapat mewakili berbagai
makna. Penulis dapat memilih diksi yang lebih padat makna untuk menyatakan
kalimat yang panjang. Namun, dengan pemilihan diksi yang sederhana dan jelas
juga mempunyai nilai positif. Pemaknaan puisi pada pembaca menjadi lebih jelas
dan tidak terjerumus ke dalam pemaknaan yang dangkal/meleset dari yang ingin
disampaikan penulis.
Selain itu, antologi ini mengacu pada buku Max
Havelaar karangan Multatuli yang notabene merupakan salah satu pahlawan yang turut
andil dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Indonesia yang dibelenggu oleh penjajahan
baik dari bangsa lain maupun bangsa sendiri. Akan tetapi, mengapa Rendra tidak mengungkap
pahlawan dari Indonesia yang beraksi melawan penindasan dan penjajahan? Padahal
tentu saja ada rakyat Indonesia yang memperjuangkan hak-hak bangsanya sendiri,
tetapi Rendra hanya mengungkap bahwa masyarakat Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa.
Demikian, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya,
antologi puisi Orang-Orang Rangkasbitung
karya Rendra ini merupakan dokumen sejarah yang penting sebagai pembelajaran
bangsa Indonesia ke depan. Rakyat bukanlah alat bagi penguasa untuk melanggengkan
kekuasaan, tetapi pemilik sah negeri Indonesia yang wajib diberikan haknya.
Hentikan eksploitasi alam dan manusia di Indonesia!