- Back to Home »
- Bahasa dan Sastra Indonesia »
- Cybersastra: Generasi Postliterasi
Posted by : Rika Wijayanti
Minggu, 19 Februari 2017
Cybersastra: Generasi Postliterasi
Rika Wijayanti
Meneropong sastra
Indonesia mutakhir, tidak hanya cukup berbicara perkembangan satu dua tahun
terakhir. Walaupun mungkin selama setahun dua tahun terakhir ada suatu
perkembangan hebat yang terjadi. Fenomena cybersastra
misalnya, sebenarnya bukan merupakan hal baru di jagad sastra Indonesia. Seiring
perkembangan IPTEK, masyarakat
memiliki akses buku, audio visual, dan teknologi informasi. Cybersastra yang muncul lebih dari
sepuluh tahun yang lalu hingga kini adalah generasi postliterasi.
Cybersastra
merupakan suatu revolusi. Sebelum munculnya cybersastra,
dunia sastra Indonesia sendiri telah dekat dengan teknologi media seperti
sastra majalah, sastra koran, dan sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin
mahal, begitu juga dengan keberadaan sastra koran/majalah dirasa telah
membangun hegemoninya sendiri, internet pun datang. Komunitas-komunitas sastra
maya mulai muncul. Internet menawarkan kebebasan tanpa sensor dengan memanfaatkan
teknologi seperti mailing list
(milis), situs, forum diskusi, dan blog. Semua orang boleh memajang karyanya
dan semua boleh mengapresiasinya.
Ironisnya, tantangan di
Indonesia justru muncul dari dunia sastra sendiri. Cybersastra, dengan sifatnya yang bebas itu dianggap oleh beberapa
pihak tidak berkualitas. Sebagian pelaku dalam sastra koran/majalah mempermasalahkan
estetika yang menurut pengamat sastra tidak seperti halnya sastra koran dan
sastra majalah yang "memiliki nuansa estetika yang esensial dan bisa
diukur". Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang dimaksud
itu. Estetika yang dipermasalahkan oleh para pelaku dalam sastra koran/majalah
tersebut bisa jadi terbentuk dari upaya generalisasi yang mereka lakukan
terhadap jenis sastra yang selama ini mereka geluti, yaitu sastra
koran/majalah.
Cyber media
tidak ubahnya seperti “tong sampah” (Herfanda, 2004: 71). Menurutnya, karya-karya
dalam cybersastra hanya penampungan
dari karya yang tidak laku dipublikasikan di koran atau majalah. Hal itu
dikarenakan dalam cybersastra tidak ada kritikus sastra yang
jelas, yang menilai baik dan buruknya teks tersebut. Karya dalam cybersastra langsung dihadapkan pada konteks masyarakat. Padahal, fenomena
mengenai stagnasi kritik sastra Indonesia sudah dimulai sejak akhir tahun
1980-an. Salah satu yang melontarkan pendapat tersebut adalah Budi Darma dalam
esainya “Perihal Kritik Sastra Indonesia”. Apabila hal ini terus
berlanjut, maka sastra Indonesia akan sepi apresiasi dan berjalan tanpa
kendali. Kecacatan karya sastra dalam dunia cybersastra juga dapat
diakibatkan oleh tidak adanya campur tangan editor yang dalam mengarahkan
penulis. Sementara itu, penulis besar pun masih membutuhkan editor untuk
memperhalus karya yang dibuatnya.
Munaf (dalam Widayati,
2012) memandang bahwa penilaian yang dilakukan oleh Herfanda di atas adalah
penilaian yang terburu-buru. Herfanda hanya memberikan sampel yang terbatas dan
rentang waktu yang pendek, sehingga perlu dipertanyakan kesahihan penilaian
itu. Lebih lanjut, dikatakan bahwa sebagai sarana, dunia cyber pada akhirnya sebagaimana alam nyata akan memberikan ujian
tersendiri bagi penyair maupun sastrawan. Hanya penyair dan sastrawan yang teruji
di dunia cyber yang akan menghasilkan
karya ”berbunyi”. Tentu saja ”berbunyi” di sini mempunyai batasan sendiri yang
disepakati masyarakat dunia cyber.
Meskipun cybersastra dicap sebagai ”Tong Sampah” dalam
sastra Indonesia, cybersastra tetap
memiliki hak hidup yang sama dengan sastra lainnya. Dikatakan lebih lanjut
bahwa kehidupan sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi, masih
tergantung pada kata pemegang otoritas. Pemegang otoritas sastra Indonesia
pertama di Indonesia adalah pemerintah kolonial Belanda yang pada awalnya
membentuk Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian diubah namanya menjadi Balai
Pustaka. Balai Pustaka sebagai milik Belanda dan sebagai pemegang
otoritas berjalan dalam kurun yang cukup lama yaitu hampir satu abad sejak
tahun 1900. Apa yang terjadi pada masa Balai Pustaka kini dialami oleh
sastrawan generasi cyber. Karya-karya
mereka yang dimuat melalui internet diamini sebagai karya yang instan
(Sambodja, dalam Efendi, 2008: 164-165).
Cybersastra
telah lahir dan tidak bisa ditolak kehadirannya dalam kancah kesusastraan
Indonesia modern. Perdebatan-perdebatan yang muncul, apakah itu pro atau kontra
telah tercatat sebagai aksi sejarah munculnya media alternatif baru penyaluran
karya sastra via internet. Para pelaku dalam sastra koran/majalah tidak dapat
menampik kehadiran cybersastra dengan
membandingkannya dengan dewa sastra mereka. Hal ini dilandaskan pada tiga hal
yang dikemukakan Loekito (melalui Faruk, 2001: 220) sebagai berikut. Pertama, internet merupakan saluran yang
efektif bagi penyemaian atau terapi terhadap frustasi penyair yang sudah tidak
sabar menunggu dalam ketidakpastian penerbitan karyanya di media cetak. Kedua, internet merupakan saluran
alternatif bagi penyair menghadapi sikap tidak adil media massa yang
mengutamakan nama-nama besar dan bahkan melenyapkan lahan bagi penyair yang
belum terkenal. Ketiga, internet
merupakan jembatan bagi peradaban multiculture.
Sebenarnya penggunaan
istilah cybersastra sendiri menyatakan
jenis media yang dipakai, yaitu media cyber.
Hal ini sama dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra
fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya. Semua
tulisan sastra yang dipublikasikan melalui media cyber dapat disebut cybersastra.
Jadi, mengapa para pelaku dalam sastra koran/majalah masih ribut dengan
kehadiran sastra baru yang notabene hanya berbeda medianya?
Sastra sangat erat
kaitannya dengan dunia imajinasi. Siapapun itu, baik penulis/sastrawan terkenal
ataupun penulis/sastrawan pemula bebas dan berhak mengekspresikan imajinasi dan
bebas menyampaikan pesan-pesan moral yang dibawanya. Persoalannya, sastra koran
mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaktur dan
selera pasar, sedangkan cybersastra
cenderung hampir tidak mengenal batas-batas itu. Namun, tampaknya para pelaku
sastra koran/majalah bersikap munafik karena sastra koran sendiri kini telah memiliki
bentuk digitalisasi sebagai pengembangan terkini. Aneh rasanya jika mereka
tidak mengakui kehadiran cybersastra.
Pada era digital seperti saat ini, hampir seluruh media cetak di Indonesia
memiliki bentuk digitalisasi seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Sindo, Media
Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, dan sebagainya.
Semua sastrawan secara
individual harusnya terus menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun
yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang
digunakan tidak akan membawa manfaat apa pun. Semestinya sastrawan bisa
bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Sastrawan harus selalu
menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, khususnya perkembangan
teknologi. Kalau seorang cerpenis hanya bisa mengungkapkan kisah pencarian jati
diri remaja atau kisah romantis-emosional tentu bukan karena medianya,
melainkan karena baru sejauh itulah perjalanan kepengarangan cerpenis tersebut.
Menggeneralisasikan
kualitas karya di cybersastra hanya
dari satu-dua karya ditambah dengan praanggapan terhadap nama-nama penulisnya
yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan semena-mena. Cerpen
tetaplah cerpen, baik ia ditulis oleh seorang cerpenis sekelas Seno Gumira
Ajidarma maupun seorang ibu rumah tangga. Di dunia cyber, siapapun, dari latar belakang apapun bisa memajang karyanya.
Sebenarnya, mempertanyakan kualitas cybersastra
sama halnya dengan mempertanyakan apakah semua karya sastra koran/majalah juga
tinggi kualitasnya? Tuduhan tersebut rasanya terlalu menghakimi dan tidak adil.
Paling tidak, sastrawan cyber menulis
secara mandiri dengan konsep "estetika" masing-masing tanpa harus
takut pada gunting tajam sosok redaktur.
Dunia cyber memang sifatnya ‘bebas’, tidak
mengenal ruang, waktu, bahasa, dan mendobrak sekat-sekat negara. Sebagai dunia
dengan ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tidak bisa semata dilihat
dengan satu kacamata saja. Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama,
kritikus sastra kita membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu
kacamata agar tidak mudah silap dalam membaca hal-hal tersebut. Harus diakui
bahwa koran dan media cetak telah punya andil dalam membesarkan nama-nama
sastrawan. Namun, menganggap koran atau media cetak menjadi satu-satunya sumber
untuk membuat seseorang menjadi sastrawan juga sebuah opini yang menyesatkan
pada era keterbukaan dan digital seperti sekarang ini.
Para penggiat cybersastra di hari-hari ini adalah
“generasi teks” dan “pecinta.” Seseorang yang memuat karyanya di internet jelas
melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika
seorang sastrawan "profesional" mengirimkan karyanya untuk dimuat di
koran atau majalah. Para penggiat cybersastra
patut merasa kasihan terhadap sastrawan “profesional” yang menyerahkan nasibnya
kepada redaktur media cetak. Seolah-olah hidup-matinya tergantung kepadanya dan
karenanya harus "melayani" selera redaktur agar karyanya bisa dimuat,
lalu tujuan pokok kapitalisme pun berkesinambungan. Di manakah letak sastra di
saat pesastranya belum layak menjadi pencinta? (Samad, 2014).
Keberadaan cybersastra telah menjadi wahana dan
wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk
menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa
depan. Peranan strategis cybersastra
merupakan wahana berkreasi yang mampu mengupdate karya secara singkat,
sehingga menunjang produktivitas dan mendorong perkembangan sastra, selain juga
mengembangkan wacana kritis dan asah kemampuan maupun pemikiran. Meskipun sifat
media internet yang serba instan dan bisa saja memunculkan budaya instan, tetapi
semua tergantung kepada keadaan para penulis cyber. Jika mereka mampu bersikap profesional yaitu mempertahankan
produktivitas karya, maka bisa saja cybersastra
menjadi corak yang memunculkan angkatan baru dalam kancah perkembangan sastra
Indonesia (Aghata, via Widayati, 2012).
Bagaimanapun, media mempunyai peran penting dalam menghidupkan karya
sastra. Sebuah produk budaya, apabila tidak dapat dikonsumsi oleh publik maka
karya sastra itu akan menguap tanpa makna. Kini, di era keterbukaan dan digital
ini masyarakat memiliki akses buku, audio visual, dan teknologi informasi. Maka
sebagai seorang sastrawan sejati, tentu harus menyesuaikan diri dengan
perkembangan mas kini. Sastrawan tidak boleh terbelenggu oleh penjara media
cetak yang selama ini selalu berhasil membesarkan nama mereka. Sastrawan tidak
perlu gusar dengan hadirnya media baru terkini karena cybersastra
adalah generasi postliterasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Faruk.
2001. Beyond Imagination Sastra Mutakhir
dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media.
Herfanda,
Ahmadun Yosi. 2004. “Puisi Cyber,
Genre atau Tong Sampah” dalam Cyber Graffiti Polemik Cybersastrapunk (Ed. Saut Situmorang). Yogyakarta: Jendela.
Samad,
Israwaty. “Cybersastra: Generasi Teks
dan Pencinta”. Koran Fajar, Makassar, 21 Februari 2014.
Semboja,
Asep. 2008. ”Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”. Dalam Anwar
Efendi
(Ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta:
Tiara
wacana.
Widayati,
Sri. 2012. Cybersastra dan Sejarah Sastra
Indonesia. Diakses dari http://sriwidayati59.blogspot.co.id/2012/07/sastra-cyber-dan-sejarah-sastra.html, pada 4
Desember 2016.