- Back to Home »
- Bahasa dan Sastra Indonesia »
- Kekerasan Negara terhadap Masyarakat dalam Cerpen Grhhh! Karya Seno Gumira Ajidarma
Posted by : Rika Wijayanti
Minggu, 19 Februari 2017
Kekerasan
Negara terhadap Masyarakat
dalam
Cerpen Grhhh! Karya Seno Gumira
Ajidarma
Oleh: Rika Wijayanti
Cerpen Grhhh! merupakan salah satu cerpen yang
terkumpul dalam buku kumpulan cerpen Penembak
Misterius yang terdapat pada bagian pertama Penembak Misterius: Trilogi. Cerpen ini berusaha mengungkapkan
gugatan terhadap peristiwa penembakan misterius (petrus) atau operasi celurit
pada rezim Orde Baru. Dalam cerpen Grhhh!,
hal ini diperlihatkan pada pembasmian mayat-mayat hidup yang telah menimbulkan
kerusakan lingkungan dan menelan biaya yang tidak kecil. Ini berarti petrus
digugat bukan hanya karena kegagalannya, tetapi
juga karena sejumlah efek samping yang ditimbulkannya, serta
implikasinya terhadap anggaran pembelanjaan negara. Petrus adalah proyek mahal
yang sia-sia dan justru menciptakan lingkaran kekerasan, padahal semula
dimaksudkan untuk menghentikan kekerasan.
Petrus dikategorikan
sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti dinyatakan dalam
koran Tempo berikut.
”Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada lima peristiwa yang dikategorikan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan oleh mantan Presiden
Soeharto dan rezim Orde Baru yang dipimpinnya. Pelanggaran itu adalah
peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang yang
dituduh sebagai anggota PKI ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius
(petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus daerah operasi militer (DOM)
Aceh dan Papua, serta kasus 27 Juli (Tempo, 2004).
Petrus (operasi celurit)
adalah suatu operasi rahasia dari pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an
untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi
ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang
yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di
Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tidak jelas dan tidak pernah tertangkap,
karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius).
Soeharto dalam
otobiografinya yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Saya, terbitan 1989, mengakui adanya kebijakan petrus. Hal ini tercantum
pada bab 69 buku itu, berjudul “Yang Disebut Petrus dan Hukuman Mati”. Soeharto
menuturkan kalau petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif
mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera. “Dengan sendirinya kita harus
mengadakan treatment therapy,
tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan.
Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan!
Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka
mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya
orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa
bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua
kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah
kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu,” kata Soeharto (Majalah Detik, 27
Februari-4 Maret 2012: 18).
Korban petrus adalah
penjahat kelas teri yang bertato. Hal ini tersurat dalam kutipan cerpen berikut.
Dengan malas
diraihnya sejumlah laporan yang masuk.
...para informan
di seluruh penjuru tanah air melaporkan adanya sejumlah kuburan yang jebol.
Peti di dalamnya telah terbuka dan isi di dalamnya tidak ada lagi. Data-data
menunjukkan, kuburan itu memang kuburan kaum penjahat kelas teri. Namun tidak
semua bernama dan bertanda tahun. Hasil penyelidikan sementara juga menunjukkan
sebagian mayat hidup itu datang dari Lubang Besar... (Ajidarma,
2007: 34).
Pernyataan mengenai
korban petrus di atas didukung oleh fakta yang diungkapkan oleh Komnas HAM
berikut.
"Korban
petrus adalah preman kelas teri atau mereka yang melawan kekuasaan Orde Baru,
residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan sebagai penjahat.
Ketiga jenis korban itu dibunuh atau dihilangkan dengan sengaja dan mereka
tidak pernah diadili sesuai hukum yang sah. Oleh karena itu, (penembakan
misterius) termasuk pelanggaan HAM berat karena sesuai dengan yang tercantum
dalam Pasal 9 UU No 26/2000," ujar Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan
Pelanggaran HAM Petrus, Yosep Adi Prasetyo (Kompas, 2012).
Yosep
yang juga Wakil Ketua I Komnas HAM melanjutkan, rata-rata korban petrus ini
adalah orang-orang yang ditengarai bermasalah dengan hukum atau dianggap
meresahkan masyarakat (preman, residivis, copet, dan lainnya) yang bercirikan
memiliki tato. Namun, dalam praktiknya ada juga orang-orang yang tidak
bersentuhan dengan hukum, tapi menjadi korban seperti petani, penjaga masjid,
dan PNS lantaran memiliki nama yang sama dengan daftar target. “Daftar target
itu yang memiliki militer,” tuturnya (Sindo, 2012).
Peristiwa petrus
tersebut terbukti melanggar HAM berat karena pengambilan keputusan dalam petrus
terbukti sepihak. Korban yang berjenis kelamin laki-laki dan berusia rata-rata
23 sampai 52 tahun ditangkap, disiksa, dibunuh, dan dihilangkan tanpa melalui peradilan
yang sah untuk membuktikan korban terbukti melanggar undang-undang pidana.
Pelaku peristiwa petrus, diduga adalah TNI, Polri,
Garnisun, dan pejabat sipil (Kompas, 2012). Hal itu terjadi di hampir seluruh
wilayah Jawa dan Sumatera seperti Yogyakarta, Bantul, Solo, Semarang, Magelang,
Malang, Mojokerto, Bogor, Jakarta, Palembang, dan Medan yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang merupakan bagian dari aparat keamanan negara (TNI dan polisi)
(Sindo, 2012). Berikut keterangan mengenai korban petrus secara lebih rinci.
Dari
hasil operasi Petrus, tercatat pada tahun 1983 sebanyak 532 orang tewas, 367
orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada tahun 1984 ada 107 orang
tewas, 15 orang di antaranya tewas ditembak, dan pada 1985 tercatat 74 orang
tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.
Adnan
Buyung Nasution mengungkap banyak korban petrus yang tidak bersalah. Pada masa
itu, orang bertato dianggap sebagai preman yang menjadi sasaran petrus. Buyung,
sebagai Direktur LBH masa itu banyak membantu orang-orang yang jadi buruan
petrus untuk bersembunyi ataupun melarikan diri ke luar negeri. “Banyak yang
melapor pada LBH. Ada yang saya bantu lari ke luar negeri, ke Belanda. Banyak
itu,” terang Buyung (Majalah Detik,
27 Februari-4 Maret 2012: 16).
Nordholt (2003: 99)
menyatakan bahwa pembunuhan misterius ini merupakan reaksi atas tingkat
kejahatan yang terlalu besar dan terus meningkat. Mengikuti hal ini, ada 2
faktor yang menyebabkan praktik ekstra-legal ini sempat mendapat respon positif
dari masyarakat. Pertama, masyarakat yang sedang berada dalam
tekanan akibat meningkatnya kejahatan seperti pencurian dll, membuat metode
likuidasi kriminal ini tampak membantu masyarakat. Kedua, sistem
hukum pada saat itu banyak mencederai rasa keadilan masyarakat terutama
penjaja-penjaja kecil dan pemilik toko yang mengalami pemerasan tanpa adanya
tindakan dari polisi, sementara ‘pemuka-pemuka kriminal dapat bebas dalam waktu
singkat. Ketidakpercayaan pada sistem hukum yang ada lantas membuat masyarakat
memberikan legitimasi sosial bagi praktik “anarki negara” ini.
Cerpen Grhhh! ini mencerminkan kondisi
masyarakat Orde Baru di mana kekerasan terjadi bagi mereka yang membangkang
kepada yang berkuasa. Dalam cerpen ini, para korban digambarkan secara
imajinatif melalui karakter zombi-zombi yang mengerikan. Mereka bangkit dari
kubur lantaran tidak terima dibunuh tanpa tahu alasan mereka dibunuh. Mereka bangkit
untuk balas dendam. Hal demikian dapat dikatakan sebuah metafora bagi peristiwa
sosial yang pernah terjadi. Para zombi itu merupakan cerminan dari para korban
pembantaian yang dilakukan oleh rezim Orba.
Kekerasan
Negara kepada Masyarakat
Pembunuhan yang
dilakukan penguasa melalui pembunuh bayaran kepada masyarakatnya merupakan bentuk
kekerasan negara. Kekerasan negara ini termasuk ke dalam jenis kekerasan
langsung (khusus: homicide) dengan menghilangkan nyawa orang lain. Petrus
adalah wujud nyata dari kekerasan negara terhadap masyarakat di era Orde Baru. Kekerasan
yang dilakukan negara dengan alasan untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan
bagi masyarakatnya merupakan bentuk dari kekerasan dalam politik.
Kejahatan yang dilakukan
oleh penguasa Orde Baru menghasilkan kejahatan yang dilakukan oleh penegak
hukum. Abdi negara digunakan sebagai alat untuk meneror maupun membunuh orang
yang belum tentu bersalah. Kekerasan negara itu menciptakan ketakutan, dan
menekan masyarakat untuk menerima sistem yang diberlakukan. Keputusan yang
diambil oleh penguasa Orde Baru tersebut juga menjadikan abdi negara hanya
menjadi alat untuk melaksanakan perintah. Hal ini disebabkan perintah yang
diberikan oleh penguasa adalah sebuah kewajiban yang harus diselesaikan dengan
baik apapun resikonya.
Operasi
Petrus digelar pemerintah untuk menanggulangi kejahatan yang merebak pada saat
itu. Angka kejahatan dari laporan tahun 1982 mencapai 223.768 kasus dengan
penyelesaian 99.297 kasus. Kejahatan ini terjadi di tengah angka populasi
nasional sekitar 146 ribu jiwa.
Laksamana
Sudomo menggulirkan operasi pemberantasan kejahatan dengan sandi Operasi
Clurit. Operasi ini diumumkan setelah ia
melakukan rapat dengan Kapolri Letjen (Pol) Anton Sudjarwo,
Wapangkowilhan II Marsekal Muda Atmodjo, Kadapol VII Metro Jaya Brigjen (Pol)
Drs. R. Sudjoko, Pangdam V/Jaya Mayjen Try Sutrisno dan Wagub DKI HAKI
Chourmain di Jakarta pada 19 Januari 1983. Operasi ini lantas diikuti oleh
daerah lain (Majalah Detik, 21-27 Mei 2012: 38).
Rezim Orba telah
mengembangkan ideologi fasisme militeristik. Di dalam cerpen Grhhh! kekuasaan pemerintah yang
otoriter dapat dilihat melalui kutipan cerpen berikut.
“Terlalu. Masak
namaku secuil pun tidak disebut-sebut. Pers sekarang selalu membesar-besarkan
persoalan yang tidak penting, sambil menutup-nutupi masalah sebenarnya. Coba,
mana disebut kerja keras petugas? Aku sudah bekerja siang malam tanpa
istirahat, eh, potret si mayat hidup yang dimuat. Mending kalau cakep!
Masyarakat juga brengsek selalu menghina polisi. Malah memuja polisi di film
Barat. Maknyadirodog!” (Ajidarma, 2007: 29).
Para petinggi kekuasaan
di bawah penguasa Orde Baru saat itu seakan tidak sempat memikirkan apa yang
mereka lakukan. Mereka hanya menjalankan perintah penguasa kala itu. Mereka
beralasan hanya menjalankan perintah untuk membunuh orang-orang bertato itu.
Indonesia sendiri merupakan negara hukum dan mempunyai perundang-undangan,
sehingga apa yang dilakukan penguasa dan abdi negara itu merupakan kesalahan
besar untuk menciptakan keamanan semu seperti itu. Masyarakat akan dibingungkan
apakah harus menerima atau menolak atas perilaku penguasa kala itu.
Peningkatan kekerasan
sangat ditonjolkan oleh Seno dalam cerpennya ini. Mulai dari mengamuknya para
zombi, khususnya Ngadul yang memporak-porandakan markas Reserse Sarman.
Kemudian, terjadi peningkatan intensitas kekerasan yang ditunjukkan oleh
keputusan yang diambil komandan yang seharusnya bertugas menciptakan keamanan.
“Komandan!
Salah satu zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius di Lubang
Besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!”
“Tembak
segera dengan rudal!”
“Maaf
Komandan! Itu tidak menyelesaikan masalah!”
Zombi
itu mendekat dan membalikkan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat
dan lari ke ruang lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding.
“Bintara
Sarman! Kamu membantah perintah komandan?”
“Bukan begitu
Pak! Rudal kita tidak akan cukup melenyapkan seluruh zombi!”
“Apa maksudmu
Bintara Sarman? Zombi itu mengganggu kehidupan!”
Zombi
menendang pintu sampai jebol. Reserse Sarman meloncati jendela dengan HT-nya.
“Apakah
Bapak tidak ingat? Bersama Ngadul enam ribu penjahat kelas teri terbantai
secara misterius! Masih ingat Pak?”
“Masih! Masih!
Kenapa?”
“Kebanyakan
mayatnya terkubur di Lubang Besar Pak Komandan!”
“Aku tahu!
Lantas kenapa?”
“Ada
laporan, banyak di antara mereka sudah tidak aktif lagi Pak! Yang terbantai
misterius itu banyak yang sudah insaf Pak! Dan mereka semua tidak
disembahyangkan Pak! Waktu itu tidak ada yang berani! Takut ikut terbantai Pak!
Habis, waktu itu siapa saja bisa terbunuh secara misterius Pak!”
Grhhh! Zombi melompat dari jendela. Reserse
Sarman memanjat pagar tembok.
“Jadi, apa
kesimpulannya Bintara Sarman?”
“Pembantaian
itu kesalahan besar Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak
rela mati Pak! Mereka membalas dendam!”
“Apa yang harus
kita lakukan?”
“Sembahyangkan
mereka Pak! Harus dilakukan penyembahyangan massal Pak! Rudal kita cuma
seratus! Tidak cukup untuk membasmi mereka! Sembahyangkan mereka Pak! Supaya
rohnya santai!”
“Kamu
bermimpi ya Bintara Sarman? Kamu ngelindur! Itu semua omong kosong! Kita sedang
mengimpor rudal dari luar negeri! Kamu dengar itu? Enam ribu rudal sedang
dikapalkan kemari! Mereka akan dibantai!” (Ajidarma, 2007: 35-36).
Penggunaan rudal untuk
membasmi zombi menyebabkan masyarakat kehilangan harta mereka. Hal ini
menggambarkan bahwa aksi militer merupakan tindakan kekerasan negara kepada
masyarakatnya. Walau hal itu bisa mengatasi masalah atas mayat hidup, tetapi
ketakutan juga dirasakan oleh masyarakat lainnya. Penguasa mengabaikan akibat
yang akan terjadi setelah operasi itu selesai. Kebudayaan kekerasan yang
diciptakan akan menjadi budaya yang akan diteruskan masa berikutnya, secara
langsung maupun tidak langsung.
Dalam hal ini, Soeharto
menjalankan kekuasaannya melalui saluran militer. Soeharto menciptakan sebuah
negara yang melanggengkan konsep dwifungsi militer yang bertujuan untuk
menopang dan melindungi negara, jika perlu hingga mengorbankan rakyat yang
seharusnya dilindungi oleh negara dan militer tersebut. Pentingnya stabilitas
sebagai prasyarat pembangunan pada masa Orde Baru telah dipakai untuk
membenarkan berbagai tindakan opresif dan kekerasan. Negara adalah satu-satunya
institusi yang memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan, dan negara Orde
Baru tidak pernah ragu-ragu melakukan hal itu. Lebih jelasnya, Soeharto
memanfaatkan rasa takut pada yang sengaja diciptakan melalui petrus untuk
menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakannya. Hal ini
sudah biasa digunakan dalam masyarakat yang memiliki pemerintahan otoriter.
Kemauan Soeharto seperti yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu menimbulkan
efek jera bagi para pelaku kejahatan sehingga dapat menurunkan angka kejahatan
di Indonesia.
Di sisi lain,
pengambilan keputusan bersifat sentralistik, proses pengambilan keputusan yang
yang bersifat top-down dan pendekatan oleh negara kepada masyarakat
dengan model korporatif adalah merupakan ciri utama dari negara Orde Baru. Rasa
takut menjadi alat untuk menciptakan kepatuhan. Selain itu, Soeharto melegalkan
aksi petrus melalui saluran ideologi. Soeharto melalui petrus telah memberikan
doktrin kepada masyarakat yang bertujuan untuk menerangkan sekaligus memberi
dasar pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Dalam hal ini, wewenang yang
dimiliki Soeharto telah dikembangkan dengan baik sehingga tercipta kekuasaan
yang sah dengan kekerasan.
Dampak Kekerasan Negara terhadap
Masyarakat pada Masa Orde Baru dalam Cerpen Grhhh!
Soeharto melaksanakan
kepemimpinannya secara otoriter dalam menjalankan operasi petrus dengan dalih
menciptakan keamanan. Aksi militer yang dijalankan menimbulkan banyak dampak.
Hal itu digambarkan dalam cerpen Grhhh!.
Aksi militer dalam menumpas kejahatan yang dilakukan para zombi atau mayat
hidup hanya ampuh dengan rudal. Rudal yang diluncurkan yang bermaksud untuk
menghancurkan mayat hidup itu memang berhasil, tetapi kota tempat mayat hidup
itu berada hancur dan penuh puing-puing seperti perang. Ibu kota seperti terlanda perang. Reruntuhan
puing merata di mana-mana. Inilah akibat rudal yang diobral. Namun zombi terus
bermunculan. Penggunaan rudal tersebut memang bisa menghancurkan mayat hidup
itu, tetapi bukan hanya mayat-mayat hidup yang hancur, melainkan masyarakat
juga menjadi korban kehilangan harta mereka. Penggunaan aksi militer ini
merupakan tindakan kekerasan negara kepada masyarakatnya. Walau hal itu bisa
mengatasi masalah atas mayat hidup, tetapi ketakutan dan kengerian juga dirasakan
oleh masyarakat lainnya.
Kekerasan yang
dilakukan negara pada dasarnya dalam rangka menciptakan keamanan dan kenyamanan
masyarakat. Akan tetapi, kekerasan yang telah dilakukan negara menimbulkan
dampak lain terhadap masyarakat. Dampak yang dirasakan masyarakat berbeda-beda,
dapat berupa teror atas kekerasan yang dilakukan negara ataupun berupa afirmasi
(penegasan) atas kekerasan negara itu sendiri. Dampak kekerasan negara juga
sampai pada masyarakat dan lingkungannya seperti tersurat pada kutipan berikut.
Kalau dihitung-hitung,
sudah dua puluh lebih mayat hidup bermunculan di berbagai sudut. Rekan-rekan
Reserse Sarman setengah mati memantaunya. Setiap kali mesti digunakan rudal TOW
untuk memusnahkannya. Celakanya rudal TOW ini bukan hanya menghancurleburkan si
mayat hidup. Lingkungannya pun ikut hancur. Menteri Pengawasan Lingkungan Hidup
sudah marah-marah (Ajidarma, 2007: 32).
Dalam cerpen Grhhh! terdapat hubungan antara penguasa
dan abdi negara yang dipaksa untuk menjalankan perintah penguasa. Penguasa
dalam cerpen ini adalah komandan, dan keputusan komandan dalam cerpen ini
adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Walaupun bawahannya, Reserse Sarman,
telah mencoba mengajukan pendapat, Komandan hanya mau melaksanakan sesuai
keinginannya yaitu menggunakan rudal (aksi militer). Akibat keputusan yang
diambil oleh komandan adalah kota bagaikan dilanda perang, banyak puing-puing
berserakan akibat rudal.
“Komandan! Salah
satu zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius yang
legendaris di Lubang besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!”
“tembak dengan
rudal!”
“maaf Komandan!
Itu tidak menyelesaikan masalah!”
Zombi itu mendekat
dan membalikan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat dari ruangan
lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding.
“Bintara Sarman! Kamu membantah perintah
komandan?”(Ajidarma, 2007: 35).
Abdi negara di sini
merupakan individu yang patuh terhadap hukum untuk melakukan kejahatan.
Perilaku seperti itu sebenarnya tipikal perilaku orang-orang pada masa
kekuasaan Nazi yang tidak menggunakan penilaian menuruti setiap perintah dari
pemimpin mereka. Mereka hanya membabi-buta melakukan aksi kekejaman dan
kebiadaban. Akibatnya, kekejaman menjadi sesuatu yang dianggap wajar karena
jika mereka mengungkapkan kebenaran, mereka justru dianggap salah. Kondisi ini
serupa dengan yang terjadi pada masa Soeharto.
Militerisasi masyarakat
Indonesia di masa Orde Baru tidak hanya berdampak pada dilakukannya kekerasan
sistematik oleh negara, namun juga timbulnya budaya kekerasan dalam masyarakat.
Kebudayaan kekerasan yang diciptakan akan menjadi budaya yang akan diteruskan
masa berikutnya, secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks
masyarakat semi-feodal dan paternalistik, seperti Indonesia, negara yang
bersifat militeristik akan menghasilkan masyarakat yang termiliterisasi. Negara
yang sarat dengan kekerasan akan melahirkan kekerasan pula. Jika negara
ditempatkan sebagai institusi, sedangkan “pembangunanisme‟ sebagai
ideologi-nya, maka dogma-dogma dari ideologi demikian akan memberikan penekanan
total pada pembangunan ekonomi, materi dan fisik.
Soeharto sebagai
penguasa hanya merencanakan dan abdi negara yang menjalankan. Abdi negara yang
mendapatkan resiko atas rencana yang mereka buat. Bukan hanya abdi negara, akan
tetapi masyarakat yang mendapatkan resiko menjadi korban.
Mantan preman
Anton Medan memberi kesaksian, pada era 1982 – 1983, teman-temannya sesama preman
habis dibunuh. ”Waktu petrus muncul, semua habis. Preman Jakarta yang memiliki
nama, 90 persen habis. Efektif sih, tapi cara tidak benar,” kata Anton Medan
pada majalah detik (Majalah Detik,
27 Februari-4 Maret 2012: 16).
Berdasarkan pendapat di
atas dapat disimpulkan “petrus” bukanlah cara yang benar untuk menciptakan
keamanan dan mengurangi kejahatan. Undang-undang yang berlaku di Indonesia
sudah mengatur tentang hukum yang berlaku tentang siapa saja yang melakukan
kejahatan serta hukuman yang dapat disanksikan. Pembunuhan sebagai hukuman
tanpa bukti yang jelas, menjadikan “petrus” sebagai kejahatan itu sendiri dan
pelakunya adalah penguasa yaitu Orde Baru.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajidarma,
Seno Gumira. 2007. Penembak Misterius: Kumpulan Cerita Pendek. Yogyakarta:
Galangpress.
Anonim.
2012. “Komnas HAM: Peristiwa Petrus Pelanggaran HAM Berat”. Sindo, 25 Juli
2012.
Nordholt,
Nico G. Schulte. 2003. “Kekerasan dan Anarki Negara Indonesia Modern” dalam
Huub de Jonge (ed). Orde Zonder Order. Yogyakarta: LkiS.
Ramidi.
2004. “Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Masa Soeharto”. Tempo, 23
Januari 2004.
Revianur,
Aditya. 2012. “Komnas HAM: Petrus Termasuk Pelanggaran HAM Berat”. Kompas, 24
Juli 2012.
“Awas
Petrus”. Majalah Detik, 27
Februari-4 Maret 2012
“Menguak
Broker Sukhoi”. Majalah Detik, 21-27 Mei 2012
bagus sekali
BalasHapus