- Back to Home »
- Bahasa dan Sastra Indonesia »
- Ragam Bahasa Ilmiah vs Ragam Bahasa Sastra
Posted by : Rika Wijayanti
Minggu, 19 Februari 2017
Ragam
Bahasa Ilmiah vs Ragam Bahasa Sastra
Rika Wijayanti
Dari sekian ragam
bahasa yang ada, mengapa orang lebih banyak membicarakan ragam bahasa sastra dan
ragam bahasa ilmiah? Pada kenyataannya kedua ragam bahasa tersebut memang lebih
sering dibahas dibanding ragam yang lain karena dalam kehidupan sehari-hari
orang yang mayoritas menjalani proses pendidikan di sekolah sangat dekat dengan
penggunaan kedua ragam bahasa tersebut. Nurgiyantoro (2014: 130) menyatakan usaha
untuk membandingkan bahasa sastra dan bahasa ilmiah yang nonsastra ini tidak
semata-mata dimaksudkan untuk menunjukkan kontras antara keduanya. Tujuan
utamanya adalah untuk memahami secara lebih baik karakteristik bahasa sastra
dan bahasa ilmiah.
Bahasa
Ilmiah
Bahasa ilmiah adalah
bahasa yang menekankan objektivitas penalaran yang didukung oleh data empirik.
Dalam bahasa ilmiah tidak ada orasi atau propaganda, sedang hal-hal yang
dikemukakan dikembangkan atas dasar argumentasi. Semakin objektif seorang
penulis ilmiah, semakin eksplisit ia meminta pembaca untuk mempercayai walau
kadang bukannya tanpa bias (Adler & Doren via Nurgiyantoro, 2014: 131).
Dalam penelitiannya
tentang bahasa ilmiah, Hyland (via Nurgiyantoro, 2014: 131) menemukan sejumlah
karakteristik bahasa ilmiah sebagai berikut.
1. Bahasa
ilmiah disusun secara sistematis dan meyakinkan agar pembaca mau menerimanya.
Intinya, bahasa ilmiah disiasati dan dikembangkan sedemikian rupa lewat
penalaran dan argumentasi untuk mencapai efek meyakinkan.
2. Bahasa
ilmiah mengembangkan argumentasi lewat pemilihan bentuk stile yang khusus, yang
khas, yang membedakannya dengan ragam bahasa lain. Berbagai bidang keilmuan
tertentu lazimnya membentuk komunitasnya sendiri dengan mempergunakan model
stile tertentu yang sama-sama diketahui oleh anggotanya.
3. Tiap
komunitas keilmuan memiliki stile yang berbeda untuk membahasakan ide, gagasan,
dan temuan penelitian; mereka juga mengembangkan struktur, cara penalaran, dan
argumentasi yang tidak sama. Perbedaan stile juga disebabkan oleh perbedaan
kultur dan bahasa di dunia. Bahasa ilmiah dengan kultur penulisan dengan bahasa
Inggris misalnya, menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: (i) struktur dan
tujuan ditunjukkan lebih jelas, (ii) banyak merujuk acuan mutakhir, (iii)
kurang menoleransi adanya digresi, (iv) berhati-hati dalam membuat pernyataan,
dan (v) banyak memakai kata dan kalimat penghubung untuk menunjukkan adanya
hubungan antarbagian yang jelas.
4. Pengembangan
penalaran dan argumentasi mencakup negosiasi antarpersonal dalam suatu komunitas
keilmuan. Namun, penulisan karya ilmiah tidak sekadar melahirkan teks, ia juga
menyiasati stile yang mampu meyakinkan, mengonstruk, dan menegosiasi hubungan
sosial.
Realisasi karya ilmiah dalam teks bahasa karya
ilmiah memiliki lima ciri, yaitu (1) objektif, (2) impersonal atau nirpersona,
(3) teknikal, (4) praktikal, dan (5) berdasar pada bahasa tulisan (Hartisari, 2005:
1-4). Yang dimaksud dengan bahasa
objektif adalah representasi dalam bahasa yang menggambarkan sesuatu
pengalaman yang bagi semua khalayak (addressee)
representasi pengalaman linguistik itu (dipandang) sama oleh semua orang
seperti yang ditampilan oleh pemakai bahasa (addresser). Sebaliknya,
bahasa yang subjektif menggambarkan sesuatu pengalaman (oleh pembicara atau
penulisnya) yang berbeda bagi sebanyak orang atau khalayak dalam memandang atau
memahami representasi pengalaman itu. Ini berarti bahasa yang subjektif adalah
bahasa yang membawa pertimbangan, sikap, pendapat atau komentar pribadi dari
setiap pemakai bahasa.
Keimpersonaan bahasa
secara operasional menunjukkan ketidakterlibatan penulis artikel ilmiah dalam
teks. Kecuali dalam ucapan terima kasih atau persantunan, di dalam (batang
tubuh) teks karya ilmiah kata saya, kita, kami atau penulis yang
mengacu kepada penulis artikel ilmiah tidak digunakan untuk menghindari paparan
yang cenderung persona atau subjektif. Pemakaian semua ekspresi itu menjadikan
kalimat aktif dan melibatkan penulis. Walaupun harus diakui bahwa karya ilmiah
tidak akan wujud tanpa keterlibatan penulis, retorika dalam penulisan karya
ilmiah menuntut agar keterlibatan itu tidak ditampilkan di dalam teks. Kalau
penulis/peneliti terlibat maka teks menjadi personal atau persona. Kepersonaan
menyangkut emosi dan emosi menurunkan rasionalitas. Untuk menghindari
kepersonaan atau mempertahankan keimpersonaan teks dan menghindari keterlibatan
penulis kalimat pasif digunakan.
Teknikalitas menunjukkan
pemaknaan khusus oleh kata atau bentuk linguistik yang umum dalam satu bidang
atau disiplin. Biasanya teknikalitas didasarkan pada kriteria. Teknikalitas
umumnya menyangkut definisi atau batasan konsep dan berlaku pada satu disiplin.
Definisi itu sendiri merupakan persamaan dua unsur (a = b). Dengan demikian,
satu istilah teknis mewakili sejumlah makna (kata) yang berterima bagi semua
khlayak disiplin ilmu itu. Misalnya, dalam linguistik morfologi adalah kajian tentang morfem dan penyusunan morfem untuk
membentuk kata.
Kepraktisan bahasa
ilmiah ditandai dengan penggunaan teks yang hemat atau ekonomis dan tidak taksa
(unambiguous). Penghematan dapat dicapai dengan penggunaan teknikalitas
(seperti telah diurai terdahulu), penggunaan lebih sedikit kata. Ciri bahasa karya
ilmiah yang lain adalah bahasa tulisan. Dalam sejarahnya perkembangan
bahasa tulisan terkait dengan perkembangan ilmu. Pada awalnya, karya ilmiah
dinyatakan dalam bahasa tulisan. Walaupun kegiatan ilmiah dapat dilakukan dengan
lisan, hingga kini bahasa ilmiah direalisasikan oleh bahasa tulisan. Dengan demikian
karya ilmiah mengikuti tata bahasa dari bahasa tulisan.
Berikut ini disajikan contoh bahasa ilmiah yang
memenuhi kriteria bahasa ilmiah seperti telah dijelaskan sebelumnya yang
diambil dari bagian pendahuluan jurnal ”Penggunaan Ungkapan Jawa dalam Kumpulan
Puisi Tirta Kamandanu Karya Linus Suryadi (Pendekatan Stilistika Kultural)”
yang ditulis oleh Burhan Nurgiyantoro.
Kajian
stilistika pada hakikatnya adalah aktivitas mengekplorasi bahasa terutama mengeksplorasi
kreativitas penggunaan bahasa (Simpson, 2004:3). Hasil kajian stile akan
memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan wawasan kita terhadap bahasa dan
penggunaan bahasa dalam suatu teks (sastra). Kajian stile membawa ke pemahaman
yang lebih baik tentang bagaimana bahasa dapat dikreasikan dan didayakan
sedemikian rupa, mungkin lewat penyimpangan, pengulangan, penekanan, dan
penciptaan ungkapan baru yang semuanya membuat komunikasi bahasa menjadi lebih
segar dan efektif. Objek kajian stilistika meliputi seluruh aspek kebahasaan,
mulai dari aspek bunyi, diksi, sampai grafologi dan bahkan bentuk visual dalam
puisi. Namun, dalam praktiknya orang boleh fokus memilih unsur-unsur tertentu
yang diminati. (Nurgiyantoro, 2014: 202-203).
Kutipan di atas telah memenuhi
karakteristik bahasa ilmiah. Bahasa yang dipakai mengandung unsur objektivitas
dan keimpersonaan karena pada tulisan tersebut penulis tidak memasukkan
komentar pribadi dan unsur emotif di dalam tulisannya. Walaupun harus diakui
bahwa karya ilmiah tidak akan terwujud tanpa keterlibatan penulis, maka retorika
dalam penulisan karya ilmiah menuntut agar keterlibatan itu tidak ditampilkan
di dalam teks. Unsur tekstualitas dapat diamati pada kajian stilistika pada hakikatnya adalah aktivitas mengekplorasi bahasa
terutama mengeksplorasi kreativitas penggunaan bahasa. Kalimat tersebut
memiliki batasan konsep yaitu ‘kajian stilistika’ yang saling berterima. Selain
itu, teks di atas juga telah memnuhi syarat kepraktisan dan bahasa tulis.
Pengungkapan tidak bertele-tele dan strukturnya menggunakan struktur tulisan.
Bahasa Sastra
Pradopo (1997: 38) menyatakan adanya ragam bahasa
sastra pastilah disebabkan oleh sifat sastra sendiri yang mempergunakan bahasa
sebagai medium pengucapannya. Sifat bahasa sastra antara lain konotatif, bahasa
bergaya, dan ketaklangsungan ekspresi.
Bahasa
sastra sangat konotatif. Dikemukakan bahwa bahasa sastra
bersifat emosional dan bahasa ilmiah bersifat pemikiran. Namun, pada
kenyataannya bahasa sastra juga bukan semata-mata emosional, berisi pikiran
juga. Idealnya bahasa ilmiah itu murni denotatif, bertujuan pada korespondensi
satu lawan satu antara tanda dan referensinya, serta memiliki semacam bahasa
universal sebagai characteristic
universalis. Dibandingkan dengan bahasa ilmiah, bahasa sastra menunjukkan
beberapa perbedaan. Bahasa sastra mengandung ambiguitas yang luas, yaitu
homonim, manasuka, atau kategori-kategori tak rasional misalnya gender
gramatikal, bahasa sastra diresapi peristiwa sejarah, kenangan, dan
asosiasi-asosiasi. Jadi bahasa sastra itu sangat konotatif, mengandung banyak
arti tambahan. Bahasa sastra tidak sekadar bersifat referensial, tetapi juga
memiliki segi ekspresifnya. Bahasa sastra itu membawa nada dan sikap
penulisnya. Bahasa sastra tidak hanya menyatakan dan mengungkapkan apa yang
dikatakan, juga ingin mempengaruhi sikap pembaca. Perbedaan lainnya, tanda
bahasa sastra sendiri terdapat penekanan simbolisme bunyi.
Bahasa
sastra itu bahasa gaya. Untuk menunjukkan ciri atau sifat
bahasa sastra, dapat ditinjau dari segi gaya bahasa. Gaya bahasa adalah
penggunaan bahasa secara khusus yang menimbulkan efek tertentu, khususnya efek
estetis. Gaya bahasa ini terdapat juga dalam penggunaan bahasa sehari-hari dan
bahasa ilmiah. Akan tetapi, dalam kedua ragam bahasa itu, gaya tidak disengaja
untuk mendapatkan nilai estetis, di samping juga seringkali bersifat klise
berdasarkan kebiasaan berbicara. Dalam bahasa sastra, gaya bahasa dieksploitasi
secara sistematis. Bahasa sastra menekankan kreativitas dan keaslian. Itulah
sebabnya, pengarang selalu berusaha membentuk gaya bahasa yang asli dan baru.
Pada umumnya gaya bahasa itu merupakan penyimpangan
dari bahasa normatif dan merupakan defamiliarisasi atau deotomatisasi. Mengenai
konsep gaya ini, lebih lanjut dikemukakan oleh Enkvist (via Pradopo, 1997: 40)
sebagai berikut.
1. Bungkus
yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya.
2. Pemilihan
antara berbagai pernyataan yang mungkin.
3. Sekumpulan
ciri-ciri pribadi.
4. Penyimpangan
dari norma atau kaidah.
5. Sekumpulan
ciri-ciri kolektif.
6. Hubungan
antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada
kalimat.
Ketaklangsungan
ekspresi. Menurut Riffaterre (via Pradopo, 1997: 43)
ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti
(displacing of meaning), penyimpangan
arti (distorting of meaning), dan
penciptaan arti (creating of meaning).
Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Penyimpangan
arti disebabkan oleh pemakaian ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Sementara
penciptaan arti meliputi pengorganisasian ruang teks yang berupa enjambemen
(perlompatan baris), sajak (rima), tipografi (tata huruf), dan homologue (persejajaran baris).
Sejalan dengan pendapat Pradopo di atas,
Nurgiyantoro (2014: 133-142) merinci karakteristik bahasa sastra menjadi lima
macam, yaitu dominasi unsur emosi, makna konotatif, bahasa kreatif,
penyimpangan pengucapan, dan penekanan. Pertama, bahasa sastra sering
dicirikan oleh dominannya unsur emosi ‘perasaan’ dan subjektif daripada unsur
rasio ‘pikiran’ dan objektif seperti dalam bahasa ilmiah. Akan tetapi,
kemunculan unsur emosi dan rasio dalam teks-teks itu bersifat gradasi. Unsur
rasio dominan dalam bahasa ilmiah, sedangkan unsur emosi dominan dalam bahasa
sastra. Unsur emosi dalam bahasa sastra ini bukan dalam pengertian emosional.
Sastra hadir antara lain untuk mengekspresikan perasaan yang kuat dan dalam
setelah pengarang mengalami, menyikapi, merenungi, dan menghayati secara
intensif berbagai pengalaman hidup. Setiap pengarang memiliki pengalaman dan
kepribadian yang berbeda, maka berbeda pula cara menyikapi dan mengekspresikan
pengalamannya itu. Itulah sebabnya sastra dan bahasa sastra menjadi bersifat
subjektif: kehadiran, isi, dan bentuk tergantung ke-aku-an seorang pengarang.
Kedua,
bahasa sastra sering dikaitkan dengan bahasa yang lebih menunjuk makna
konotatif daripada makna denotatif atau makna referensial dalam bahasa ilmiah.
Sebenarnya baik pada bahasa sastra maupun bahasa ilmiah sama-sama dapat memakai
ungkapan konotatif. Bahasa sastra menekankan keaslian pengucapan, menekankan
menggunakan bentuk-bentuk yang asli-baru sebagai hasil kreativitas. Karena
bentuk-bentuk baru, pembaca belum pernah melihat atau membacanya. Itulah pemahaman
ungkapan konotatif dalam bahasa sastra. Efek yang ditimbulkan adalah asing,
keterasingan, atau mengasingkan, sehingga tidak jarang memperlambat pemahaman. Sebaliknya,
penggunaan berbagai ungkapan konotatif dalam bahasa ilmiah, juga ragam-ragam
bahasa nonsastra lainnya, biasanya berupa bentuk-bentuk yang telah lazim
dipakai. Bentuk dan makna itu telah diketahui penulis (pembicara) maupun
pembaca (lawan bicara) sehingga justru mempercepat pemahaman. Misalnya
penggunaan ungkapan patah hati, pasti
langsung dipahami oleh pembaca daripada dituturkan dengan kata-kata lain yang
bermakna denotatif.
Ketiga,
karya sastra disebut karya kreatif, maka bahasa sastra juga bahasa kreatif, hasil
penciptaan lewat kerja imajinatif. Kreativitas adalah suatu hal yang esensial
dalam karya sastra. Seorang penyair misalnya, tidak bisa mengulang bentuk yang telah
ada walaupun bentuk itu amat bagus. Karena menekankan unsur kreativitas dalam
penciptaan, bahasa sastra menjadi bersifat dinamis. Tidak ada bentuk yang
langgeng dalam bahasa sastra. Selain itu, unsur kreativitas juga dimanfaatkan
dalam bahasa ilmiah. Seorang penulis yang baik mampu menuliskan sesuatu yang
abstrak dan kompleks dengan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami pembaca.
Di sini, diperlukan kreativitas yang baik untuk memilih dan mungkin juga
‘menciptakan’ stile yang baik, segar, menarik, dan komunikatif.
Keempat,
bahasa sastra ditandai oleh adanya penyimpangan dari cara-cara penuturan yang
bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar yang disebut deotomatisasi atau
defamiliarisasi. Adanya berbagai bentuk penyimpangan (deviasi) dalam bahasa
sastra merupakan efek dan konsekuensi logis terhadap adanya tuntutan
kreativitas dan kebaruan pengucapan yang sangat menentukan nilai keindahan sebuah
karya sastra. Penyimpangan dalam bahasa sastra dapat dilihat secara sinkronik,
yang berupa penyimpangan dari bahasa sehari-hari dan secara diakronik, yang
berupa penyimpangan dari karya sebelumnya. Namun, harus dipahami bahwa
penyimpangan secara ekstrem terhadap bahasa yang bersangkutan akan berakibat
tidak dipahaminya karya yang bersangkutan terhadap sesuatu yang akan
dikomunikasikan. Fungsi komunikatif bahasa hanya akan efektif jika sebuah
penuturan masih tunduk dan memanfaatkan konvens bahasa itu seberapapun
kadarnya.
Kelima,
bahasa sastra ditandai oleh adanya unsur-unsur tertentu yang mendapat penekanan
lebih (foregrounding). Tujuan
pemberian penekanan adalah untuk mencapai efek keindahan. Ketiga istilah
(deotomatisasi, deviasi, dan foregrounding)
sering dibicarakan dalam satu rangkaian. Bahasa sastra harus memenuhi tuntutan
kreativitas, keaslian, dan kebaruan maka bahasa sastra harus menunjukkan adanya
deotomatisasi. Untuk mencapai keadaan
tersebut, pengarang menggunakan deviasi.
Tujuan penuturan secara deotomatisasi lewat bentuk-bentuk deviatif adalah untuk
memperoleh perhatian yang lebih karena bentuk-bentuk itu sengaja ditekankan
pentingnya, foregrounding.
Bentuk-bentuk yang demikian adalah bentuk-bentuk ungkapan yang mampu mencapai
efek keindahan. Ketiga sifat bahasa sastra secara teoretis lebih ditujukan
untuk karakter bahasa puisi walau dapat ditemukan dalam genre fiksi. Akan
tetapi, intensitas kehadirannya berbeda dan lebih intensif pada bahasa puisi.
Berikut disajikan contoh dalam puisi Sajak
Putih karya Chairil Anwar.
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak
membelah...
Puisi di atas berbicara tentang suasana hati yang bahagia,
penuh harap dan cinta. Namun, suasana jiwa yang demikian bersifat abstrak,
tidak mudah diimajinasikan, maka Chairil Anwar mengekspresikannya melalui
bentuk-bentuk ungkapan personifikasi agar dapat dibayangkan. Kata-kata yang
dipakai dalam puisi itu sebenarnya kata-kata yang biasa didengar dan dipakai.
Namun, dalam puisi itu disusun, didayakan dan dibentuk agar memiliki makna
baru, makna yang belum biasa didengar dan dipakai.
Itulah manifestasi adanya unsur kreativitas,
penciptaan, keaslian, kebaruan dalam bahasa sastra. Dalam puisi tersebut juga
terdapat deotomatisasi yang terlihat
pada struktur sintaksis larik-larik puisi yang tidak umum dan melanggar tata
bahasa (bentuk deviasi). Penyair membuat inversi, yaitu membalik susunan
‘Subjek-Predikat’ menjadi ‘Predikat-Subjek’ pada larik 3-6. Selain itu, Chairil
Anwar juga membuat kalimat tidak biasa baik karena penghilangan kata penghubung
ataupun pembalikan susunan seperti pada larik berikut.
Hidup
dari hidupku, pintu terbuka
Selama
matamu bagiku menengadah
Selama
kau darah mengalir dari luka
Antara
kita Mati datang tidak membelah...
Susunan yang biasa seperti berikut.
Hidup
dari hidupku (akan sebagai) pintu terbuka
Selama
matamu menengadah bagiku
Selama
darahmu mengalir dari luka
Antara
kita tidak membelah (sampai) kematian datang
Demikian juga dalam pemberian makna, misalnya “sepi
menyanyi”. Selain itu, repetisi dan paralellisme juga menambah intensitas
makna. Demikian, artinya terdapat usaha untuk membuat bahasa itu memiliki efek foregrounding baik secara bahasa yang
membentuk keindahan stile maupun muatan makna yang ingin disampaikan.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa
ragam bahasa ilmiah berbeda dengan ragam bahasa sastra disebabkan oleh bahasa
sastra bersifat estetis yang dominan. Bahasa ilmiah memenuhi ciri objektif,
keimpersonaan, teknikalitas, kepraktisan, dan bahasa tulis, sedangkan bahasa
sastra didominasi oleh unsur emosi, makna konotatif, bahasa kreatif,
penyimpangan pengucapan, dan penekanan. Akan tetapi, ciri-ciri tersebut tidak
mutlak, ada beberapa ciri yang dimiliki kedua ragam bahasa. Semua tergantung
pada intensitasnya sehingga menghasilkan ciri-ciri tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hartisari. 2005.
“Bahasa dalam Karya Ilmiah”. Englonesian. Vol. 1, No. 2, November.
Universitas
Sumatera Utara
Nurgiyantoro,
Burhan. 2014. “Penggunaan Ungkapan Jawa dalam Kumpulan Puisi Tirta
Kamandanu Karya Linus
Suryadi (Pendekatan Stilistika Struktural)”. Litera. Vol 13,
No. 2. Universitas Negeri Yogyakarta.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2014. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat
Djoko. 1997. “Ragam Bahasa Sastra”. Humaniora. Nomor IV. Universitas
Gajah
Mada.
saya suka ini
BalasHapusTerima kasih 😊
Hapussangat keren
BalasHapus