Archive for Februari 2017
Muslim, Ateis, Muslim Lagi
By : Rika Wijayanti
Muslim,
Ateis, Muslim Lagi
oleh: Rika Wijayanti
Novel
Kubah karangan Ahmad Tohari
menceritakan tentang lika-liku kehidupan tokoh Karman, baik dalam hubungannya
dengan Tuhan, wanita, maupun politik. Tokoh yang baru saja kembali dalam agama
dan masyarakatnya. Karman adalah seorang pria mantan tahanan politik (selama 12
tahun) yang baru terbebas dari pengasingannya di Pulau Buru. Keluar dari
penjara membuatnya bingung harus pulang ke mana. Istrinya, Marni dengan
terpaksa menikah dengan Parta karena alasan ekonomi. Ia juga khawatir dengan
tanggapan warga desa Pegaten terhadapnya.
Karman sebagai tahanan politik terlibat dalam
masalah kriminal yang serius, yaitu komunisme yang sangat ditentang di
Indonesia. Masalah kriminalitas merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak
berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, dan budaya
sebagai fenomena yang ada dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam arti
kriminologis, kejahatan adalah perilaku yang bersifat susila dan merugikan,
menimbulkan banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga
masyarakat itu berhak menyatakan penolakannya. Hal inilah yang menyebabkan
kekhawatiran Karman. Ia takut tidak diterima lagi di desanya karena status
bekas tahanan politiknya.
Akhirnya Karman memutuskan untuk pulang ke rumah
kakaknya dan siapa sangka, justru ia mendapat sambutan hangat dari penduduk dan
tetangganya, bahkan juga anaknya yang bernama Rudio. Karman sempat menyaksikan
anak gadisnya, Tini menikah dengan Jabir, pemuda yang berasal dari keluarga
Haji Bakir yang sebelumnya pernah ia benci akibat lamarannya ditolak.
Dulu, keluarga Karman termasuk orang kaya karena
ayahnya bekerja sebagai pegawai gubermen
atau biasa disebut mantri di sebuah kota kecamatan. Namun, keadaan berubah
ketika Jepang mengambil alih Indonesia dari Belanda. Desa Pegaten mengalami
kemarau panjang dan hasil panen para warga direbut oleh tentara Jepang, maka warga
hanya dapat makan ubi saja. Ayah Karman yang tidak terbiasa makan ubi kemudian
menukarkan sawahnya dengan beras kepada haji Bakir. Lama-lama hartanya pun habis.
Keluarga Karman menjadi miskin, apalagi ketika ayahnya meningal, ia harus
bekerja menghitung hasil panen kelapa di rumah Haji Bakir demi memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya.
Ayah Karman sebagai seorang mantri termasuk dalam
golongan priyayi. Ia merasa tidak pantas melakukan pekerjaan kasar seperti
menggarap sawah sendiri. Ahmad Tohari menampilkan realita lain di masyarakat. Penggolongan
masyarakat menurut status sosialnya terbagi menjadi golongan bangsawan
(priyayi), pemimpin adat, pemimpin agama, dan rakyat biasa. Kedudukan para
priyayi ini dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial pada masa itu.
Ketika dewasa, Karman jatuh hati pada Rifah, tetapi
lamarannya ditolak oleh Haji Bakir. Hal ini membuat Karman marah dan dendam.
Saat itu ia juga sedang kesulitan mencari pekerjaan. Kesempatan ini lalu
dimanfaatkan dengan baik oleh Margo, antek partai komunis (Partindo) untuk
menjauhkan Karman dari orang-orang di sekitar yang dapat menghambat tujuannya. Karman
memang dari awal sudah dibidik agar mau masuk partai. Karman dijejali dengan
pandangan-pandangan komunis. Ia diberi pekerjaan yang baik sebagai pegawai
kecamatan. Sewajarnya, lulusan SMP seperti Karman belum bisa menjadi pegawai,
tetapi berkat bantuan Margo, semuanya menjadi mungkin. Orang-orang partai juga
mengetahui kegagalan Karman dalam memiliki Rifah, lalu mereka memberi solusi
dengan menawarkan Marni yang kelak menjadi istrinya dan melahirkan tiga orang
anak.
Diceritakan bahwa tokoh Karman adalah seorang muslim
yang berubah menjadi seorang ateis. Sebenarnya, ada kesalahpahaman di sini. Ateisme
tidak sama dengan komunisme. Seorang ateis bisa saja memiliki pandangan
liberal, sekuler, kapitalis, atau komunis. Ateisme adalah ketidakpercayaan
terhadap keberadaan Tuhan, sedangkan komunisme adalah paham yang menolak
kepemilikan barang pribadi dan beranggapan bahwa semua barang produksi harus
menjadi milik bersama. Salah satu penyebab dihubung-hubungkannya ateisme dan
komunisme adalah kata-kata Karl Marx “Agama adalah candu bagi massa rakyat”.
Kesan bahwa komunis itu ateis juga disebabkan oleh tindakan terhadap kehidupan
beragama yang banyak terjadi di negara-negara komunis.
Di Indonesia, cap ateis pada komunis dan sebaliknya
merupakan hasil propaganda rezim Orde Baru yang ingin melenyapkan partai besar
secara instan dalam jangka panjang. Guna mendapatkan dukungan kelompok agama,
maka rezim Orde Baru mempropagandakan bahwa komunis adalah ateis, musuh agama,
sehingga harus diberantas dari Indonesia. lebih dari satu juta orang dibunuh,
jutaan lainnya dirampas harta benda dan hak-hak sipilnya, dipenjara tanpa
pengadilan, dibuang ke Pulau Buru akibat kampanye antikomunis di tahun 1960an.
Dalam novel Kubah,
Ahmad Tohari juga lebih condong ke pandangan Karl Marx, bahkan ia mencantumkan
kata-kata Karl Marx tersebut dalam novelnya. Dari penjelasan sebelumnya kita
dapat memahami mengapa Tohari berpandangan demikian. Kurang lebih karena cap
ateis pada komunis yang dipropagandakan oleh Orde Baru. Di Indonesia, penguasa
dapat dengan mudah membentuk opini publik.
Setelah menjadi anggota partai Partindo, Karman
harus menerima kenyataan bahwa partai komunis gagal dalam melakukan kudeta. Ia
dicari oleh alat keamanan negara (polisi, TNI). Karman meninggalkan keluarganya
dan bersembunyi di kuburan lebih dari satu bulan. Hanya karena ia sakit perut
terpaksa keluar dari persembunyiannya dan akhirnya ditangkap penduduk.
Peralihan orde Lama ke Orde Baru diwarnai oleh peristiwa
kekacauan politik tahun 1965. Peristiwa yang dipicu konflik di tubuh Angkatan
Darat (AD) itu menyeret nama Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang
penculikan dan pembunuhan tujuh perwira AD pada dini hari tanggal 1 Oktober
1965. Peristiwa tragedi kemanusiaan di Lubang Buaya itu kemudian diikuti oleh
aksi balas dendam berupa penangkapan dan pembunuhan atas anggota, simpatisan
PKI. PKI telah lama diidentikkan sebagai partai berideologi komunisme yang
ateis. Identitas ketidakbertuhanan orang-orang PKI ini kemudian menjadi alat
pembenaran bagi kalangan kelompok beragama untuk membunuh, memusnahkan, dan
mengucilkan orang-orang yang dituduh PKI.
Dua belas tahun kemudian, Karman bebas dari pulau B.
Tanda bahwa Karman telah diterima di desanya kembali adalah kepercayaan yang
diberikan kepada Karman untuk membangun kubah masjid desanya. Tadinya Karman
sebagai bekas PKI pesimis untuk kembali ke desanya karena ia takut tidak
diterima, tetapi kenyataan berkata lain hingga Karman merasa menemukan sesuatu
yang hilang dari dirinya.
Ahmad Tohari memaparkan peristiwa-peristiwa dalam
novelnya dengan jelas dan teliti. Tokoh-tokohnya memiliki karakter yang kuat
sesuai peran masing-masing. Penggambaran peristiwa juga dilakukan dengan baik. Setting
yang jelas dan detail mengingatkan kita pada daerah asal penulis, yaitu
Banyumas. Setting yang digambarkan Ahmad Tohari dalam novelnya ini dekat dengan
kehidupan sehari-harinya yang membaur dengan masyarakat pedesaan. Tohari
menggambarkan kembali realitas yang ada dalam masyarakat ke dalam realitas
ceritanya dengan hidup.
Kastaghetek sebagai tokoh yang muncul di bagian
akhir tampil dengan sisi religiusnya. Hal ini bukan tanpa maksud. Kastagethek
menggambarkan bagaimana orang miskin tetapi masih dalam ketaatan pada Tuhannya
dan selalu bersyukur atas segala hal yang didapatnya. Kastagethek mengajarkan
banyak hal, antara lain mensyukuri nikmat Tuhan, kesetiaan, ketaatan,
kesederhanaan, berserah diri pada Tuhan, dan sebagainya. Tentunya pertemuan
Karman dengan Kastagethek turut memperkuat alasan Karman untuk bertaubat.
Sayangnya tema utama belum dijabarkan dengan
maksimal. Tema utama novel ini adalah kembalinya kesadaran seorang muslim dalam
agama dan masyarakatnya. Walaupun terdapat peran kastagethek yang religius, Karman
yang baru saja keluar dari tahanan bisa langsung bertaubat, rasanya mustahil. Jatuhnya
Karman ke kelompok orang-orang partai seperti Margo dan Triman kurang mendapat penjelasan
yang cukup. Meskipun pengarang berhasil menjelaskan bagaimana komunis mencetak
kader-kadernya, tetapi pergolakan batin Karman kurang dieksplorasi.
Masalah ateisme juga dibahas pada novel Atheis oleh Achdiat Karta Mihardja.
Potret kehidupan tokoh Hasan yang sedari kecil dibesarkan dengan ajaran Islam
membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang alim dan paham tentang Islam. Hasan
hidup dalam lingkungan keluarga yang menjadikannya taat terhadap Tuhan dan
agama. Namun, hidup Hasan tidak selamanya taat. Penggambaran tokoh-tokoh
seperti Rusli dan Kartini yang berpaham ideologi marxisme dan leninisme, serta
Anwar dengan ideologi nihilisme mendobrak keyakinan Hasan. Hasan ditempatkan di
lingkungan yang meniadakan Tuhan dalam kehidupan. Interaksi sosial yang intens
antara Hasan dengan Rusli, Kartini, dan Anwar membuktikan bahwa interaksi sosial
sangat mempengaruhi sudut pandang dan perilaku seseorang.
Konflik batin yang dirasakan Hasan memuncak ketika
Hasan sering berkunjung ke rumah Rusli dan mendengarkan opini-opini Rusli
mengenai ketiadaan Tuhan. Apalagi ditambah dengan pertemuannya dengan Kartini,
jelmaan wanita yang dicintai Hasan. Cinta memang dapat membutakan segalanya.
Termasuk perihal keyakinan.
Perbedaan penjabaran konflik batin antara novel Atheis dengan novel Kubah, yaitu penulis dalam novel Kubah kurang menjabarkan proses pergolakan batin tokoh Karman
hingga menjadi ateis. Dalam novel Atheis,
penjabaran seperti ini telah menjadi fokus penulis, sehingga terjabarkan dengan
lengkap. Novel Kubah sendiri
tampaknya lebih terfokus dalam penggarapan proses orang partai membentuk kader
yang handal.
Informasi perihal tragedi G30S PKI menjadi pelengkap
yang menonjol dalam novel ini. Dan Ahmad Tohari berhasil menggambarkannya
dengan apik. Kisah pengejaran komunis yang sebenarnya jarang kita dengar,
tetapi pembaca dapat merasakan ketegangan yang dahsyat dari kisah pengejaran
dan pelarian komunis di masa lalu. Di samping itu, Ahmad Tohari juga melibatkan
golongan muslim yang ikut berperan dalam peristiwa G30S PKI. Hal ini tidak kita
temukan pada novel-novel lain yang mengangkat peristiwa G30S PKI, seperti novel
Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Laila S. Chudori yang lebih
menyoroti latar belakang terjadinya peristiwa G30S secara keseluruhan tanpa
melibatkan golongan muslim.
Ahamad Tohari memiliki kekhasan tersendiri dalam
mengkritik marxisme pada masa Orde Baru. Tokoh-tokoh digambarkan dalam dua
sisi, yaitu hitam dan putih. Margo misalnya, ia digambarkan sebagai tokoh
komunis yang licik (tanpa ada sisi putihnya). Karman sebagai tokoh utama
hanyalah manusia yang terbawa arus sejarah di Indonesia. Ia menjadi komunis
dengan alasan dendam dan cinta. Itupun juga karena diiming-imingi pekerjaan
yang baik. Sebenarnya banyak orang yang menjadi komunis tapi tidak tahu konsep
komunis itu sendiri. Itulah pesan penting dari seorang Ahmad Tohari yang terdapat
dalam novel Kubah.
Daftar Pustaka
Valbiant. 2012. Apakah Komunis Itu Ateis?. Diakses dari
andabertanyaateismenjawab.wordpress.com, pada 3 Januari 2016.
Tag :
Bahasa dan Sastra Indonesia,
Stop Budaya Patriarki!
By : Rika Wijayanti
Stop
Budaya Patriarki!
oleh: Rika Wijayanti
Seminar nasional
“Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan” di FBS UNY pada 26 November 2015 lalu
menghadirkan empat pembicara. Yudi Latif dengan makalah berjudul “Bahasa dan
Mentalitas Kebangkitan”, Suminto A. Sayuti dengan makalah “Sastra dan
Kekuasaan”, Teguh Setiawan dengan makalah “Kekuasaan dalam Bingkai Bahasa”, dan
Wiyatmi dengan makalah “Menggugat Kuasa Patriarki melalui Sastra Feminis”. Tulisan
ini berfokus pada makalah Wiyatmi yang ingin mengungkapkan bagaimana sastra
feminis menggugat kuasa patriarki.
Budaya patriarki di
mana laki-lakilah yang dianggap tangguh dan perempuan adalah warga negara kedua
begitu mengakar di Indonesia, bahkan dunia. Seluruh bidang kehidupan, baik
disadari atau tidak telah meneguhkan tahta laki-laki di atas perempuan. Salah
satu contoh yang disampaikan Wiyatmi yaitu adanya kepercayaan bahwa perempuan tidak
dapat mandiri secara ekonomi. Hingga sekarang, di Indonesia, ketika seorang
perempuan ingin membuka kredit di bank, ia harus mendapatkan persetujuan bapak
atau suaminya–seorang laki-laki. Lalu, bagaimana dengan seseorang yang bapaknya
sudah meninggal dan tidak bersuami dan dia hanya anak sendiri? Ya dengan paman.
Selalu laki-laki karena dianggap lebih tepercaya.
Dalam lingkup negara,
perempuan juga masih dikesampingkan. Kedudukan perempuan di lembaga
pemerintahan sangat dibatasi. Peraturan terbaru, kuota anggota lembaga
legislatif untuk perempuan adalah 30 % dari jumlah keseluruhan. Hal ini
dimaksudkan untuk memastikan bahwa perempuan mendapat kursi, tetapi juga dapat
berarti lain yaitu pembatasan terhadap perempuan. Namun, tanpa peraturan ini,
nyatanya kursi untuk perempuan jauh lebih sedikit. Penyebabnya karena
ketidakpercayaan kaum laki-laki terhadap kepemimpinan perempuan.
Lalu, apa yang membuat
kuasa patriarki begitu langgeng hingga kini? Melihat kebiasaan masyarakat di
Indonesia, kaum perempuan sendiri memiliki andil yang dominan dalam
melanggengkan kekuasaan patriarki. Bagaimana tidak, dalam kehidupan sehari-hari
mereka masih menempatkan laki-laki pada posisi superior. Misalnya, satu keluarga
memiliki dua anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Orang tua,
khususnya ibu lebih banyak membebankan pekerjaan rumah kepada anak perempuan
dengan salah satu dalihnya “agar kelak dapat melayani suami (laki-laki)”. Atau
karena dialah anak “perempuan”. Di sini “perempuan” dimaknai sebagai orang yang
bekerja melayani laki-laki, mengurus pekerjaan rumah.
Ketika budaya patriarki
telah tertanam begitu kuatnya di dunia, muncullah perlawanan dalam wujud sastra
feminis yang diciptakan oleh para sastrawan feminis sebagai genre sastra yang
tidak hanya mengusung gagasan kesetaraan gender, tetapi juga ingin menciptakan
model penulisan perempuan. Sastra feminis juga melakukan kritik terhadap
ketidakadilan gender dalam penulisan sejarah sastra dan kritik sastra. Melalui
karya-karyanya, sastrawan perempuan Indonesia seperti N.H. Dini, Ayu Utami,
Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, dan lain-lain berupaya menggugat kuasa
patriarki melalui dunia simbolis yang diharapkan mampu menyadarkan masyarakat
pembaca mengenai pentingnya keadilan, kesetaraan, dan eksistensi perempuan
dalam masyarakat dan negara.
Kesetaraan yang
dimaksud dalam sastra feminis bukan kesamaan antara perempuan dan laki-laki
dalam segala hal (termasuk kesamaan biologis), tetapi sebuah pandangan yang
berbeda tentang konstruksi perempuan di dalam dunia sosial. Hal ini dikarenakan
para aktivis feminis menyadari adanya perbedaan kodrat perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan gender
seringkali terhambat oleh konstruk budaya. Laki-laki diidentikkan dengan sifat
maskulin (misalnya macho, tangguh, bertanggungjawab, dan sebagainya), sedangkan
perempuan identik dengan sifat feminin (seperti lemah, anggun, dan sebagainya). Sifat-sifat yang dilabelkan pada perempuan tersebut
menimbulkan diskriminasi. Perempuan seringkali tidak mendapat kepercayaan
karena ada label sifat “lemah”.
Selain sastrawan
perempuan, banyak juga sastrawan laki-laki yang menyuarakan feminisme, salah
satunya Y.B. Mangunwijaya. Dalam novel Rara
Mendut, Y.B. Mangunwijaya menyuarakan gagasan tentang kebebasan wanita
serta persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam tatanan
masyarakat yang diceritakan ulang dari cerita rakyat babad tanah Jawa. Dalam
novel ini, Y.B. Mangunwijaya memperlihatkan perbedaan posisi perempuan dan
laki-laki dalam kerajaan Pati Pragola. Semua milik raja menjadi milik sang
pemenang dalam peperangan, termasuk wanita ataupun selir raja. Perempuan disamakan
nilainya dengan harta benda. Perempuan tidak memiliki kekuatan atas kekuasaan
yang berlaku di dalam suatu daerah. Daerah mengkonstruk perempuan seperti apa
yang diinginkannya. Perempuan tidak dapat melakukan perlawanan terhadap bentuk
kebudayaan di mana kebudayaan itu telah mengakar dalam bentuk kuasa laki-laki.
Kehidupan masyarakat
pada saat itu, bahkan sampai saat ini sebagian besar masyarakat berpikir bahwa
perempuan harus bersifat feminin. Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya menampilkan
bentuk wanita ideal dalam diri tokoh Rara Mendut yang berbeda dengan
wanita lain. Mulai dari cara berpikir sampai pekerjaan yang dilakukannya.
“Pasti lagi
gadis nelayan itu, pikir Nyai Singabarong. Perkiraan sang ibu betul. Pranacitra
memang sedang mencari gadis yang sudah berminggu-minggu menarik perhatiannya.
Seorang gadis anak sulung nelayan yang di pelabuhan nelayan terkenal dengan
sebutan Rara Ireng atau kadang-kadang juga Nyai Rara Lor, karena sangat pandai
mengatur layar, mengemudi perahu, dan tak kenal lelah bila mengayuh. Hitam
manis sembadra, tetapi hanya dalam bentuk wadaqnya. Jiwanya, semengatnya serba
trengginas Srikandi…. kekhawatiran Nyai Singabarong sebetulnya
berlebih-lebihan. Mungkin karena pikiran ibu sudah menuju ke seorang gadis
perempuan ideal dalam rumah saudagar gading Abdullah….” (hlmn 142).
Y.B. Mangunwijaya
memperlihatkan perlawanan perempuan terhadap bentuk kekuasaan patriarki. Perlawanan tersebut terjadi ketika Rara Mendut,
seorang perempuan rampasan akibat kekalahan perang diminta untuk menari. Ia mau
menuruti permintaan raja dengan memberikan sebuah syarat baru. Apabila syarat
tersebut dipenuhi, maka ia akan melakukan hal yang diperintahkan raja. Selain itu, Y.B. Mangunwijaya juga memperlihatkan bahwa
sebagian besar perempuan tidak dapat memilih (pasif). Perempuan tidak memiliki
kebebasan layakanya kaum laki-laki, bahkan dalam hal memilih pasangan sekalipun.
Perempuan hanya dipilih dan harus menerima keputusan, terlebih jika seorang
raja atau tumenggung yang menghendaki. Kebebasan perempuan ditiadakan.
Selain itu, bentuk
perlawanan lain yaitu pelarian Rara Mendut. Bentuk pelarian yang dilakukan oleh
Rara Mendut bersama dengan kekasihnya telah meruntuhkan kekuasaan tumenggung
Wiraguna terhadap perempuan. Pelarian itu adalah sebuah pilihan, dan Rara
Mendut telah memberikan pilihan bahwa perempuan bebas dalam memilih sekalipun
dalam bentuk kerajaan di mana budaya dan masyarakat patuh terhadap raja.
Gugatan dari sastra
feminis tidak selalu berjalan lancar. Berbagai tanggapan negatif terhadap
karya-karya sastra feminis bermunculan. Menurut Wiyatmi, hal ini menunjukkan
adanya kuasa patriarki yang selain meremehkan kualitas karya para sastrawan
perempuan, juga memberikan anggapan bahwa kaum perempuan harus selalu menjaga
sopan santun dalam berekspresi, termasuk dalam mengekspresikan pengalaman
keperempuanannya. Padahal ketika kaum laki-laki mengangkat tema seksualitas,
tidak ada masalah. Hal ini karena para kritikus laki-laki dianggap mewakili
suara patriarki.
Nama dan karya para
sastrawan perempuan tenggelam dalam sejarah sastra. Hal ini tidak lain
disebabkan oleh kuasa patriarki dalam struktur ilmu pengetahuan, termasuk ilmu
sastra. Wiyatmi mengusulkan bahwa untuk mengakhiri kuasa patriarki, perlu
kajian ulang terhadap karya-karya sastra di Indonesia dalam perspektif feminis.
Masyarakat perlu memberikan kemerdekaan dan apresiasi terhadap para sastrawan
perempuan untuk bebas berkreasi dan melahirkan karya-karya sastra feminis yang
dapat ikut serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya keadilan, kesetaraan
gender, dan menghargai eksistensi perempuan, bukan malah memberikan kecaman dan
kritikan yang merendahkan.
Penulis setuju dengan
usulan Wiyatmi di atas. Perempuan memiliki hak untuk memperjuangkan apa yang
telah menjadi haknya, yaitu kesetaraan gender. Di sisi lain, perempuan juga
harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang turut serta melanggengkan kuasa
patriarki. Jadi, apabila ingin menghentikan kuasa patriarki, maka perempuan
tidak bisa hanya melawan dengan senjata sastra feminis saja, tetapi juga harus
menghentikan praktik budaya yang menempatkan laki-laki pada posisi superior. Negara
juga harus menetralkan aturan-aturan yang sekiranya memarginalkan kaum perempuan.
Melalui usaha bersama dari seluruh lapisan masyarakat, semoga kesetaraan gender
antara laki-laki dan perempuan dapat terwujud.
Tag :
Bahasa dan Sastra Indonesia,
Melawan Eksploitasi melalui Puisi
By : Rika Wijayanti
Melawan
Eksploitasi melalui Puisi
oleh: Rika Wijayanti
oleh: Rika Wijayanti
Antologi puisi Orang-Orang Rangkasbitung memuat 10
sajak karya Rendra yang ditulisantara tahun 1990-1992. Dalam antologi tersebut Rendra
memotretperistiwa sejarah mengenai penderitaan rakyat kelas bawah di Indonesia
yang diwakili oleh rakyat Rangkasbitung sejakzaman penjajahan Belanda sampai
zaman kemerdekaan. Protes sosial dan kesenjangan sosial antara rakyat bawah dan
penguasa sering menjadi topik dalam puisi Indonesia di era 70-an sampai 90-an.Masalah
ketidakadilandan korupsisangat mendominasi dari zaman penjajahan bahkan hingga
sekarang.Penggusuran tanah milik rakyat bawah sering terjadi dengan alasan
untuk pembangunan. Rakyat bawah hidup serba kekurangan sedangkan penguasa hidup
dalam kemewahan. Hal-hal tersebut yang menjadi fokus Rendra pada antologi puisi
ini.
Rangkasbitung sebagai
latar utama dalam puisi ini merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Lebak provinsi
Banten.Orang-orang Rangkasbitung hidup menderita karena ditindas oleh kaum
penjajah Belanda. Pada zaman kemerdekaan pun masih banyak rakyat bawahyang
menjadi korban penggusuran tanah untuk pembangunan-pembangunan kota yang
dimotori penguasa dari negeri sendiri.
Buku kumpulan puisi
karya Rendra ini terinspirasi dari kisah Saijah dan Adinda serta buku Max Havelaar
karangan Multatuli.Dikisahkan Saijah dan Adinda tinggal di Badur, bagian dari
distrik Parang Kujang, sebuah dusun di Lebak, Banten Selatan. Mereka hidup di
tengah kemiskinan yang disebabkan oleh kelaliman kepala distrik, Wira Kusuma
yang suka merampas hak milik penduduk. Saijah telah mengenal Adinda sejak kecil
dan mereka berencana akan kawin kemudian.Adinda sebagai putradari petani yang
kehilangan kerbaunya karena dirampas oleh Wira Kusuma. Padahal,kerbau itu yang
telah menyelamatkan Saijah dari terkaman harimau. Ia tidak tahan hidup diLebak setelah
Adinda tidak dilutdhui rimbanya. Saijah lari ke kampung, bergabungdengan rakyat
kampung yang melawan penjajah, dan akhirnya mati diujung bayonet.
Dalam buku Max
Havelaar, dikisahkan di Lebak, Banten Selatan kala itu sedang menunggu Asisten
Residen baru pengganti Slotering yang mati dibunuh. Asisten Residen yang baru
ditunjuk itu adalah Max Havelaar. Havelaar tiba di ibu kota baru distrik Lebak:
Rangkasbitung. Havelaar berjanji akan melindungi semua orang miskin dan
tertindas yang ditemuinya. Melindungi penduduk pribumi dari pemerasan dan
tirani. Havelaar akan melawan kekuasaan korup dan sewenang-wenang yang sedang
berlangsung di Lebak. Perampokan kerbau, kerja tanpa bayaran, dan penyiksaan.
Sehari setelah kedatangannya di Lebak, Havelaar berpidato. Secara tegas ia menyampaikan
keberpihakannya pada rakyat bawah. Havelaar memberitahukan bahwa tugas pemimpin
bukanlah menumpuk kekayaan, tetapi harus meninggalkan kepentingan pribadi. Ia
juga memperingatkan pemimpin Lebak yang banyak melakukan penyimpangan sehingga menyebabkan
kemiskinan di desa-desa.
Beberapa catatan penyalahgunaan
kekuasaan di Lebak didapatkan Havelaar dari arsip yang ditinggalkan
pendahulunya: Slotering alias C.E.P. Carolus. Dari dokumen-dokumen yang
ditemukannya itu,ia membentuk suatu gambaran mengenai kesewenang-wenangan
terhadap penduduk Lebak. Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh bupati dan
kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parang Kujang, Raden Wira Kusuma, dan menantu
Adipati Lebak, Karta Nata Negara. Adipati Lebak waktu itu sangat ditakuti dan
sangat dihormati oleh penduduk.
Slotering meninggal
karena diracun. Slotering sedang menyelidiki penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh para penguasa di Lebak dan berencana akan melaporkannya. Slotering
telah mengadukan kepada Residen Banten, C.P. Brest van Kempen alias Slijmering.
Pembicaraannya dengan residen selalu sia-sia karena hal ini sudah umum
diketahui bahwa pemerasan itu untuk kepentingan penguasa dan di bawah
perlindungan Adipati Lebak. Akhirnya Residen Banten tidak mau mengadukan
Adipati kepada pemerintah Hindia Belanda.
Puisi Nyanyian Saijah untuk Adinda, Kesaksian Bapak Saijah, dan Demi Orang-Orang Rangkas Bitung mewakili
isi kumpulan puisi ini.
Nyanyian Saijah untuk
Adinda
Adinda! Adinda!
Aku dirampok orang di jalan.
Mereka tikam perutku, punggungku dan
leherku.
Mereka rampas seluruh uang simpananku.
……………………………………………
Kemiskinan telah memisahkan kita.
Sepuluh tahun menahan dahagaasmara
Alangkah sulit cinta di zaman edan,
di dalam hidup penuh ancaman.
Semua hak dianggap salah.
Tak punya apa-apa dianggap sampah.
Alangkah hina orang yang kalah.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:39)
Kutipan di atas menyiratkan adanya tindak kekerasan
dan kekejaman perampok sebagaipesuruh dari pejabat lokal yang menjadi antek
Belanda. Saijah sebagai rakyat bawah(petani) menjadi korban kekejaman penguasa.
Masyarakat kalangan bawah dianggap tidak berguna, bahkan hak-hak mereka
dikebiri oleh para penguasa.
Penguasa yang zalim juga semakin dipertegas pada
puisi Demi Orang-Orang Rangkasbitung.
Sejak zaman penjajahan rakyat Rangkasbitung hidup menderita demi kepentingan
penguasa. Praktik penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Lebak, Banten
inimendorong seorang residen Belanda untuk membela rakyat yang tertindas oleh kekuasaan.
Para penguasa tidak menyadari telah mengambil hasil bumi, merampas hak, dan
membuat rakyatnya sengsara sampai tidak dapat berbuat apa-apa. Multatuli yang
disebut pada puisi di atas adalah nama samaran dari Doewes Dekker yang menulis buku
Max Havelaar.Beliauadalah orang Belanda yang memihak kepada rakyat tertindas
yang tidak lain adalah rakyat Indonesia.
Demi
Orang-Orang Rangkasbitung
Nama saya
Multatuli
Datang dari masa
lalu
Dahulu abdi dari
kerajaan Belanda
Ditugaskan di
Rangkasbitung
ibu kota lebak
saat itu
Satu pengalaman
yang penuh ujian.
Rakyat ditindas
oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya
bisa berkeringat,
tidak bisa
tertawa
dan hak pribadi
diperkosa.
(Orang-Orang
Rangkasbitung, 1993:52)
Masyarakat kala itu hidup tanpa pillihan. Mereka
hanya dapat mengikuti kemauan penguasa. Meski demikian, mereka juga tidak punya
daya untuk melawan. Hal ini terdapat pada kutipan puisi Kesaksian Bapak Saijah dan dipertegas pada puisi Demi Orang-Orang Rangkasbitung.
Kesaksian Bapak Saijah
………………….
Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan
kekuasaan.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:35)
Demi Orang-Orang
Rangkasbitung
………………….
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
...................................................
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan
penjajahan.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:53)
Sejak zaman penjajahan Belanda para penguasadi
Lebak, Banten telah melakukan berbagai penyimpangan. Kebijakan yang hanya
memihakpenguasa, korupsi, penggusuran tanah milik rakyat. Lagi-lagirakyat bawahlah
yang menjadi korban. Mereka yang bekerja keras tidak dapat menikmati hasil
jerih payahnya. Sementara bangsa Indonesia menderita di tanahnya sendiri,bangsa
Belanda sebagai penjajah hidup makmur di negerinya, mereka dapat melakukan
apasaja dengan tentram dan terjamin. Ironisnya, mereka menikmati kesuksesan
penjajahan secara sadar. Peri kemanusiaan nampaknya telah sirna.
Puisi Demi
Orang-OrangRangkasbitung mengacu pada isi buku Max Havelaar karya
Multatuli. Rangkasbitung ditemukan dalam pidato Multatuli yang isinya tentang orasi
sumpah Douwes Dekker, seorang Belanda yang menyadari praktik penindasan di
Indonesia. hatinya tergerak untuk membela rakyat Indonesia yang tergilas haknya
oleh pemimpin sendiri. Manusia Indonesia yang diperlakukan seperti hewan yang
diperas tenaganya tanpa dapat menikmati hasil dari kerja kerasnya sendiri.
Demi Orang-orang
Rangkasbitung
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli.
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi kerajaan Belanda.
Ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman yang penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka
sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa
dan hak pribadi diperkosa.
(Orang-Orang Rangkasbitung, 1993:52)
Melalui puisi Rendra melawan eksploitasi. Penjajahan
adalah sejarah kelam bangsa Indonesia di mana alam dan manusia dieksploitasi
habis-habisan oleh sesama (bangsa lain dan bangsa sendiri). Penguasa menindas
rakyatnya sendiri. Ironis. Rendra mengingatkan kita tentang ketidakadilan,
penindasan, kemunafikan, teror kekuasaan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan di
Indonesia melalui puisi-puisinya dalam antologi Orang-Orang Rangkasbitung.
Puisi-puisi Rendra pada antologi Orang-Orang Rangkasbitungbukan lagi
menggambarkan tentang sesuatu atau sekadarkesaksian tentang peristiwa di
masyarakat, tetapi Rendra menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu
dalam puisinya.Di balik itu, buku ini berisi 10 judul puisi yang panjang-panjang.
Tampaknya hal ini kurang efisienbagi penulisan puisi.Diksi dalam puisi berbeda
dengan diksi pada jenis tulisan lain, satu kata saja dapat mewakili berbagai
makna. Penulis dapat memilih diksi yang lebih padat makna untuk menyatakan
kalimat yang panjang. Namun, dengan pemilihan diksi yang sederhana dan jelas
juga mempunyai nilai positif. Pemaknaan puisi pada pembaca menjadi lebih jelas
dan tidak terjerumus ke dalam pemaknaan yang dangkal/meleset dari yang ingin
disampaikan penulis.
Selain itu, antologi ini mengacu pada buku Max
Havelaar karangan Multatuli yang notabene merupakan salah satu pahlawan yang turut
andil dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Indonesia yang dibelenggu oleh penjajahan
baik dari bangsa lain maupun bangsa sendiri. Akan tetapi, mengapa Rendra tidak mengungkap
pahlawan dari Indonesia yang beraksi melawan penindasan dan penjajahan? Padahal
tentu saja ada rakyat Indonesia yang memperjuangkan hak-hak bangsanya sendiri,
tetapi Rendra hanya mengungkap bahwa masyarakat Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa.
Demikian, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya,
antologi puisi Orang-Orang Rangkasbitung
karya Rendra ini merupakan dokumen sejarah yang penting sebagai pembelajaran
bangsa Indonesia ke depan. Rakyat bukanlah alat bagi penguasa untuk melanggengkan
kekuasaan, tetapi pemilik sah negeri Indonesia yang wajib diberikan haknya.
Hentikan eksploitasi alam dan manusia di Indonesia!
Tag :
Bahasa dan Sastra Indonesia,
Kontrol Bahasa bagi Masyarakat: Solusi atau Belenggu?
By : Rika Wijayanti
Kontrol
Bahasa bagi Masyarakat: Solusi atau Belenggu?
oleh: Rika Wijayanti
oleh: Rika Wijayanti
Selasa, 20 Oktober 2015
yang lalu telah berlangsung seminar nasional kebahasaan dengan judul
“Transformasi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia antara Abad 20 menuju Abad
21: Kemajuan atau Kemunduran” di FBS UNY. Pembicara pada seminar ini antara
lain Maman S. Mahayana dengan makalah berjudul “Model Pengajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia”, Iman Budi Santosa dengan makalah berjudul “Pembelajaran
Bahasa Era 2015”, dan Suminto A. Sayuti dengan makalah berjudul “Menghindari
Kebuntuan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Dari ketiga pembicara
tersebut, saya tertarik dengan pembahasan yang dikemukakan oleh Iman Budi
Santosa mengenai pembelajaran bahasa bagi masyarakat (bukan hanya di sekolah).
Makalah Iman Budi
Santosa berjudul Pembelajaran Bahasa Era
2015. Ketika membaca judul tersebut tentu yang terbayang adalah
pembelajaran bahasa di Indonesia pada tahun 2015. Akan tetapi, pada makalahnya,
Iman lebih banyak mengungkit mengenai kesalahan berbahasa di masyarakat
sehingga perlu adanya suatu kontrol dalam praktik berbahasa. Ruang lingkup
objek pembahasannya pun kecil, yaitu di Yogyakarta. Iman juga telah
menyampaikan pada catatan awal makalahnya bahwa makalahnya bukan berasal dari
hasil penelitian yang valid, tetapi
berdasarkan pengamatan individual seiring pengalamannya di dunia sastra (baik
pelatihan penulisan karya sastra maupun editing naskah untuk penerbitan buku
dan majalah). Apabila dikaitkan dengan judul seminar, makalah Iman ini belum
mewakili makna keseluruhan judul. Iman hanya membahas bidang bahasa saja,
sastranya tidak dibahas, bahkan materi pembelajaran bahasa juga minim.
Iman Budi Santosa
menyampaikan bahwa kesalahan dalam praktik berbahasa (khususnya bahasa tulis)
di masyarakat dan generasi muda mengisyaratkan bahwa pengajaran bahasa di
sekolah kurang berhasil. Di sekolah, siswa hanya diajarkan mengenai teori
kebahasaan guna menjawab soal ujian sehingga kemampuan menggunakan bahasa dalam
praktik penulisan formal dan kreatif masih rendah. Lebih lanjut lagi, kesalahan
berbahasa juga disebabkan oleh pandangan umum yang cenderung meremehkan
kebenaran berbahasa lantaran dipicu oleh tradisi berbahasa lisan yang nyaris
menafikkan benar-salah. Oleh karena itu, Iman menyimpulkan bahwa kurikulum
apapun yang digunakan pemerintah untuk pengajaran bahasa di sekolah, tidak cukup
untuk menanggulangi kesalahan berbahasa (khususnya bahasa tulis) di masyarakat.
Berbahasa sangat erat
kaitannya dengan kebebasan seseorang dalam berekspresi. “Polisi bahasa”
merupakan solusi yang ditawarkan oleh Iman untuk mengontrol, mengingatkan, dan
membenarkan praktik kebahasaan di masyarakat. Kalau kebebasan berekspresi yang
bersifat personal itu dibatasi oleh “polisi bahasa”, lalu bagaimana manusia
memerankan dirinya sebagai makhluk sosial? Berbahasa pun sangat erat kaitannya
dengan kultur dan kebiasaan seseorang. Bagaimana kalau “polisi bahasa” dikhususkan
pada bahasa tulis? Apakah “polisi bahasa” tersebut efektif untuk membenarkan
praktik kebahasaan di masyarakat yang sifatnya bebas itu? Bahkan sanksi juga
diberlakukan bagi pihak yang salah dalam berbahasa. Di sini perlu dipertanyakan
apakah “polisi bahasa” itu merupakan solusi atau justru belenggu.
Apabila memang ingin
membelajarkan bahasa yang baik dan benar pada masyarakat, keteladanan para
pejabat, akademisi, dan pihak-pihak yang menjadi panutan serta memahami praktik
berbahasa yang baik dan benar harus lebih diutamakan. Hal ini mengingatkan pada
sejarah ketika Orde Baru berkuasa, para elite pejabat justru terkesan seenaknya
dalam berbahasa. Ironisnya, praktik berbahasa yang salah kaprah tersebut ditiru
oleh bawahannya sebagai bentuk penghormatan kepada atasan.
Salah satu kasusnya
yaitu kasus ‘mangkin’ dan ‘semangkin’ yang dulu sering diucapkan Soeharto. Hal
ini merupakan kesalahan berbahasa, tetapi karena kedudukannya sebagai presiden,
semua pihak membiarkannya. Kasus ini diungkapkan dalam cerpen “Semangkin (d/h
semakin)” yang terdapat pada kumpulan cerpen Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen ini secara
garis besar menceritakan tokoh bernama Sukab yang mengalami kesulitan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar. Bunyi “ng” selalu saja terelip pada tutur
katanya. Ia selalu menyebut kata semakin
menjadi semangkin. Peristiwa ini
dipandang istri Sukab sebagai pertanda baik. Pada masa itu (tahun 90-an) para
pejabat biasa salah berbahasa ketika berpidato di depan publik. Ketika akan
dilantik menjadi lurah, Sukab berusaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik
dan benar. Ia belajar dengan keras hingga dapat mengucapkan kata semakin dengan baik dan benar. Namun,
tepat pada saat itu juga, pemerintah memutuskan bahasa yang tidak baku menjadi
baku dan bahasa baku menjadi tidak baku. Sukab berlatih lagi mengucapkan
kata-kata tidak baku yang sudah ia tanggalkan, tetapi tidak berhasil. Istri
Sukab pun berkata “.....alangkah malangnya kamu, terseok-seok menjunjung tinggi
kebenaran, tetapi kebenaran itu tidak berpihak padamu.....”
Seno mengkritik praktik
berbahasa pada masa Soeharto dalam cerpen di atas. Bagi Seno, untuk menjadi
manusia Indonesia yang baik maka orang Indonesia harus dapat berbahasa
Indonesia dengan baik pula. Terkait kesalahan berbahasa di kalangan pejabat
publik, hingga saat ini masih berlangsung. Memang kebenaran berbahasa
tergantung pada apa yang hidup di masyarakat, tetapi bukan berarti dapat
melakukan kesalahan berbahasa seenaknya.
Dalam makalahnya, Iman juga
menyindir tentang pengabaian yang dilakukan pejabat pemerintah (khususnya DPR)
terhadap kesalahan berbahasa. Dalam pandangan politik dan ekonomi, masalah
kesalahan berbahasa agaknya kurang mendapat perhatian. Meski demikian, pada tahun 2007 silam RUU
bahasa sempat akan disahkan, tetapi menuai pro dan kontra akibat beberapa pasal
berikut.
1. Pidato
kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri
maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
(pasal 9 ayat 2)
2. Media
massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia.
Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau
terjemahan. (pasal 11)
3. Merek
dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan
barang harus menggunakan bahasa Indonesia. (pasal 12)
4. Pejabat
negara dan pejabat publik diwajibkan mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia
hingga tingkat tertentu. (pasal 13)
Berdasarkan pembahasan
di atas, saya tidak sepenuhnya setuju dengan argumen Iman Budi Santosa yang
menyarankan pembentukan “polisi bahasa” untuk mengontrol praktik kebahasaan di
masyarakat. Pemikiran ini tentu saja terlalu muluk sekaligus mengekang. Bahasa
adalah bentuk kebebasan berekspresi sesuai kultur pada masyarakat tertentu.
Jika masyarakat dibatasi dalam berbahasa, tentu saja “polisi bahasa” tadi hanya
akan menjadi sebuah wacana yang terabaikan. Hal ini disebabkan oleh rancangan
tersebut terlalu kaku dan tidak disesuaikan dengan kultur di masyarakat sebagai
pelaku bahasa.
Menurut saya, “polisi
bahasa” hanya dapat digunakan pada lingkungan formal saja. Misalnya pada
penulisan buku (khususnya buku pelajaran di sekolah), dokumen, surat (untuk
instansi), dan sejenisnya. Media massa seperti televisi, koran, majalah memang
harus menggunakan bahasa yang baik, tetapi tidak melulu harus menggunakan
bahasa yang benar. Hal ini berdasarkan pertimbangan keterbatasan ruang pada
media dan tujuan dari media massa tersebut. Misalnya, apabila bahasa pada koran
harus sesuai EYD, maka masyarakat justru dapat kehilangan minat membaca.
Lagi-lagi, kebutuhan masyarakat sebagai pelaku bahasa haruslah dipertimbangkan.
Demikian, kita harus
lebih bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya pada masalah
kebahasaan. Faktor budaya masyarakat tidak boleh diabaikan. Pembelajaran
berbahasa di sekolah pun juga jangan melulu hanya mengajarkan teori saja,
tetapi juga praktik berbahasa yang baik dan benar. Apabila ingin membenarkan
praktik kebahasaan di masyarakat, maka mulailah membenarkan praktik berbahasa dari
diri sendiri.
Tag :
Bahasa dan Sastra Indonesia,
Citra Kami (Perempuan)
By : Rika Wijayanti
Citra Kami (Perempuan)
oleh: Rika Wijayanti
oleh: Rika Wijayanti
Kemiskinan, kekeringan, dan gagal panen adalah sebuah gambaran penting
untuk memulai cerita pada novel Ronggeng
Dukuh Paruk. Berawal dari keadaan inilah kepercayaan animisme dan
adat-istiadat masyarakat Dukuh Paruk pada tahun 1960-an ditampilkan. Masyarakat
Dukuh Paruk percaya pada leluhur Ki Secamenggala dan juga percaya bahwa untuk
menjadi ronggeng tidak bisa sembarang orang, tetapi hanya orang terpilih yang
kerasukan indang ronggeng. Ronggeng di
Dukuh Paruk saat itu sangat dibutuhkan untuk memberi warna dan semangat bagi
warga desa yang mulai putus asa dengan gagal panen, kekeringan, dan kemiskinan.
Film Sang Penari terinspirasi
dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari. Salah satu citra penting dalam novel yang tidak mampu
tergambarkan pada film yaitu kekeringan. Pada film yang disutradarai oleh Ifa
Isfansyah ini justru menampilkan sawah yang subur dan air melimpah untuk
menanam padi pada adegan di mana para petani perempuan sedang menanam padi.
Tentunya kesalahan ini turut memengaruhi jalan cerita karena tanpa kekeringan
tidak akan terjadi gagal panen dan tanpa gagal panen maka kemiskinan tidak
dapat tergambar dengan kuat. Setting gagal terbentuk.
Sang Penari, membaca judul film memungkinkan film bercerita tentang
penari atau dunia seni. Namun, setelah menyaksikan filmnya, kita akan
memperoleh pemaknaan yang lebih dalam lagi mengenai gambaran perempuan sebagai
pekerja seni, sebagai pelacur, sebagai ibu rumah tangga, dan sebagai pihak yang
tertindas. Salah satu tokoh utama pada film ini adalah Srintil. Profesinya
adalah penari ronggeng (pekerja seni & pelacur), lalu pada suatu saat
timbul keinginan dalam dirinya untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Walaupun
begitu, Srintil tetaplah perempuan yang tertindas. Ia terpaksa melacurkan diri
sebagai syarat menjadi ronggeng yang sudah menjadi panggilan hatinya.
Ketidakadilan gender. Hal inilah yang terlintas di pikiran saya ketika
melihat gambaran perempuan yang diwakili Srintil yang berprofesi sebagai
seorang ronggeng. Gender adalah istilah yang merujuk pada seperangkat
karakteristik yang dipandang manusia sebagai hal-hal yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan, dari hal-hal biologis seperti jenis kelamin sampai peran
sosial dan identitas gender. Lebih lanjut, ketidakadilan adalah berbagai
diskriminasi (pembedaan, pengucilan, pembatasan) yang dibuat atas dasar jenis
kelamin. Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi dalam
berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu marginalisasi/pemiskinan ekonomi, anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip/pelabelan negatif,
kekerasan, dan ideologi nilai peran gender.
Srintil sebagai seorang perempuan mengalami ketidakadilan gender seperti
yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini tergambar melalui percakapan Nyai Kartaredja
yang sedang menasihati Srintil bahwa ronggeng itu tidak hanya perkara urusan
tidur, tetapi juga kasur, batur, dan
sumur. Artinya perempuan bertugas untuk melayani segala kebutuhan laki-laki,
terutama kebutuhan seks. Memang kodrat perempuan adalah melayani pihak
laki-laki, tetapi tidak hanya sebatas itu. Perempuan memiliki kedudukan
sederajat dengan laki-laki, mereka memiliki hak yang sama, tidak hanya
diperlakukan sebagai pemuas nafsu dan pembantu semata. Pandangan mengenai tugas
perempuan yang bertugas di “kasur, dapur, dan sumur” berawal dari budaya masyarakat
Jawa yang membatasi perempuan dalam relasi gender dan peran laki-laki lebih
dominan dibanding perempuan.
Hal yang paling menonjol dan menghentakkan pembaca novel maupun penonton
film menurut saya adalah syarat utama menjadi seorang ronggeng, yaitu tradisi
pelelangan keperawanan ronggeng yang disebut bukak klambu. Tradisi ini mengharuskan Srintil melacurkan dirinya
sebagai syarat sahnya menjadi seorang ronggeng. Menjadi ronggeng berarti
Srintil adalah milik warga Dukuh Paruk, bahkan tubuhnya sekalipun. Dalam
tradisi bukak klambu, para pria
berlomba-lomba menghadiahkan berbagai macam benda untuk memenangkan sayembara
keperawanan ronggeng. Barangsiapa yang membawa hadiah dengan harga termahal,
maka ia pemenangnya. Pembentukan stereotip bahwa ronggeng adalah pelacur sangat
kental walaupun dalam cerita ini dipaksakan oleh adat. Lagi-lagi perempuan
terdiskriminasi.
Beriringan dengan tradisi bukak
klambu, ada juga kepercayaan barangsiapa yang meniduri ronggeng, akan
memberi kesuburan bagi si lelaki. Maka dari itu, para istri malah bangga jika
suaminya bisa meniduri ronggeng, dengan harapan selanjutnya sang istri akan
hamil jika bersetubuh dengan sang suami yang telah "menaklukkan"
titisan Dewi Kesuburan. Pada adegan filmnya, setelah Srintil melayani seorang
lelaki, istri dari lelaki tersebut masuk ke kamar bahkan memberikan sesuatu
barang sebagai tanda terimakasih. Adegan ini cukup menggelitik bagi saya,
bagaimana bisa seorang istri justru senang suaminya telah berhubungan intim
dengan perempuan lain? Berdasarkan hukum Islam, seseorang yang telah menikah
melakukan hubungan intim dengan orang lain berarti zina dan dikenai dosa besar.
Agaknya adat telah mengobrak-abrik nilai-nilai di masyarakat.
Di sisi lain, ada tokoh Bakar yang tiba di Dukuh Paruk dan meyakinkan
petani Dukuh Paruk untuk bergabung dengan partai komunis dengan dalih
menyelamatkan wong
cilik (kelas bawah) Dukuh Paruk dari kelaparan, kemiskinan, dan penindasan
para tuan tanah yang serakah. Bakar juga meyakinkan penduduk dengan menyatakan
keprihatinannya mengenai kondisi ronggeng yang begitu dibanggakan warga Dukuh
Paruk, tetapi dapat diperjualbelikan keperawanannya untuk melayani kaum berduit.
Kesenian ronggeng dimanfaatkan Bakar untuk menggaet massa. Grup ronggeng
Dukuh Paruk diundang untuk mengisi acara-acara partai yang dinaungi Bakar. Baik
dalam kampanye maupun rapat-rapat. Srintil sebagai seorang penari ronggeng
hanya digunakan sebagai alat partai, hiburan, dan pemuas nafsu para anggota
partai. Di sini tersirat bahwa perempuan tidak penting dalam keputusan politik.
Pada waktu itu politik 1965 bergejolak. Kejanggalan G30S, misteriusnya
Supersemar, sampai wacana bahwa PKI adalah korban manuver politik telah banyak
diketahui orang. Dalam film Sang Penari,
penyampaian peristiwa tersebut tidak serta merta kemudian disebutkan PKI dan dikibarkan
bendera PKI, tetapi nama partai disamarkan menjadi Partai Rakyat dan benderanya
berwarna merah. Sayangnya, adegan ini hanya digunakan sutradara sebagai pemicu
konflik semata. Tentunya sutradara memiliki pertimbangan sendiri mengapa adegan
ini tidak dikembangkan.
Walau demikian, bagaimana masyarakat Dukuh Paruk yang buta huruf dan
tidak tahu-menahu tentang politik terjebak dalam pergolakan 1965, merupakan
salah satu keberhasilan tersendiri dalam menggambarkan tragedi 1965. Warga
desa, seniman ronggeng, pemangku adat, tak tekecuali diciduk oleh tentara dan
dipenjara. Peristiwa ini tentunya sangat penting untuk diketahui masyarakat
Indonesia secara umum dan menjadi pelajaran berharga untuk tidak menerima
begitu saja nilai-nilai dari luar yang dijejalkan pada kita. Pengetahuan
sangatlah penting, agar tidak dijajah akibat kebodohan sendiri.
Menurut saya, adegan-adegan yang disajikan dalam film Sang
Penari banyak yang hambar. Hal ini mungkin karena adegan-adegan yang
potensial untuk dikembangkan, justru mandek, hanya ditampilkan sepintas lalu,
atau justru tidak ditampilkan. Misalnya, untuk mengetahui Srintil pandai
menari, Sakarya dan Kartaredja mengintip Srintil yang masih berusia 11 tahun
menari diiringi calung mulut Rasus dan teman-temannya. Dari sinilah muncul
kepercayaan bahwa Srintil telah kemasukan indang ronggeng. Ini di versi
novelnya, sedangkan di versi filmnya tidak dihadirkan. Peristiwa awal yang
penting justru dilewatkan oleh sutradara. Kemudian, pada saat ritual bukak
klambu juga tidak menampilkan konflik batin Srintil, Srintil hanya cemas dan
mulai menyerahkan keperawanannya dengan mudah.
Selanjutnya, Srintil digambarkan berhenti meronggeng dan melacur setelah
disadarkan Rasus. Lagi-lagi tidak ada konflik batin yang kuat. Di sini dalam
diri Srintil muncul jiwa keibuan. Ia ingin hidup layaknya perempuan lain,
menjadi seorang istri dan mempunyai anak. Oleh karena Rasus telah pergi,
Srintil melihat Goder, bayi anak tetangganya sebagai suatu hal yang menarik. Anehnya,
begitu cepat sekali adegan ini diakhiri. Goder langsung direbut dari gendongan
Srintil oleh para perempuan kampung. Sebaiknya adegan ini digarap lebih dalam
lagi supaya pesan yang ingin disampaikan lebih jelas dan penonton tidak bingung
mengapa harus ditampilkan adegan tersebut.
Hal paling mendasar dalam film yang berjudul Sang Penari tentunya harus
ditampilkan tarian ronggeng yang luar biasa. Nyatanya, hal ini tidak ada.
Srintil hanya ditampilkan menari sekenanya meski ekspresinya bagus. Itu pun
dalam durasi yang singkat. Tari ronggeng yang merupakan salah satu budaya
Indonesia tidak dieksplorasi dengan baik. Padahal, jika ditampilkan secara utuh
dapat menampilkan kekayaan budaya Indonesia.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, film Sang Penari toh tetap
mewakili ruh novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Pembaca karya sastra tentunya memiliki sudut pandang, fokus, dan pemaknaan yang
berbeda-beda. Dan inilah pemaknaan novel Ronggeng
Dukuh Paruk dari sutradara Ifa Isfansyah.
Tag :
Bahasa dan Sastra Indonesia,